Syariah Islam dan Budaya Arab

Syariah Islam dan Budaya Arab

Budaya Arab

Suatu waktu saya berjalan-jalan di bilangan utara kota Bandung. Secara tak sengaja pandangan saya melihat  sebuah hotel yang agak menjulang tinggi, kira-kira enam lantai. Ada yang menarik dari hotel itu, yaitu …..(tidak saya sebut nama hotel) Hotel Syariah. Pandangan ini mengingatkan saya  kembali pernah masuk ke hotel itu untuk sekedar tahu apa itu hotel syariah ? Waktu itu, begitu saya masuk ke ruangan utama hotel, sebelah kiri pintu masuk terhampar sebuah permadani tebal yang di atasnya tertata rapih dan apik beberapa bantal tebal berbentuk kotak dengan ornamen khas Timur Tengah, dan tak ketinggalan beberapa shisha di setiap pojok permadani itu. Suasana yang kental bercorak Timur Tengah. Kemudian saya mendekati bagian resepsionis untuk sekedar bertanya-tanya tentang rate kamar-kamarnya. Dengan ramah, para pegawai hotel menjawab beberapa pertanyaan saya bahkan mempersilahkan saya untuk menengok beberapa jenis kamar yang tersedia. Lorong-lorong dan kamar-kamarnya didesain ala interior Timur Tengah. Dan tentu karena ini adalah hotel syariah, maka ia tidak menerima tamu laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya yang datang bersamaan dan pesan satu kamar.

Saya sangat setuju dengan adanya hotel yang berbasis syariah, dan itu sebuah gebrakan yang baik dan harus dilakukan demi membebaskan hotel dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa hotel syariah itu didesain dengan gaya Timur Tengah, gaya Arab secara khusus?

Dalam benak kebanyakan orang Indonesia, khususnya kalangan yang taat agama, bahwa sesuatu yang Islami itu identik dengan Arab, atau semua budaya dan tradisi Arab dianggap Islami. Bayangan dan kesan seperti itu sudah muncul sejak dahulu, dan sekarang tambah kuat. Saya teringat cerita ayah saya, bahwa ada jamaah haji Indonesia pernah memborong kaset-kaset yang berisi lagu-lagu Umu Kultsum dan penyanyi Arab lainnya dengan asumsi bahwa lagu-lagu itu lagu religius, padahal tidak semua lagunya religius.

Kesan tersebut perlu dihilangkan karena agama Islam, meskipun lahir di Jazirah Arabia dan dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang berbangsa Arab serta kitab sucinya berbahasa Arab pula, tetapi ia untuk semua bangsa dan seluruh alam ( rahmatan lil alamin). Ketika Islam lahir di Jazirah Arab, bangsa Arab sudah mempunyai budaya dan tradisi. Sebagian budaya dan tradisi mereka ada yang dipertahankan dan ada pula yang dihapus tergantung sejauh mana budaya itu sejalan dengan ruh Islam atau bertentangan dengannya. Jika sejalan, maka dipertahankan dan jika bertentangan, maka dihapus atau dirubah.

 

Syariah Islam

Demikian pula, ketika Islam datang ke kepulauan Nusantara yang dibawa oleh para wali dan para pedagang dari Timur Tengah, masyarakat di kepulauan ini mempunyai budaya dan tradisi sendiri yang tidak sama dengan budaya dan tradisi para pembawa agama Islam. Apakah lantas mereka merubah budaya dan tradisi Nusantara ? Tentunya, tidak. Mereka adalah orang-orang yang arif dan bijak, dan mereka juga mengikuti langkah-langkah Nabi saw. dalam mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam. Karena itu mereka tidak menghapus semua budaya dan tradisi Nusantara sebagaimana Nabi saw. tidak merubah semua budaya dan tradisi Arab.

Ada sebagian kalangan alergi dengan istilah Islam Nusantara dengan alasan bahwa Islam tidak mengenal sekat-sekat bangsa dan budaya. Islam adalah Islam. Tidak ada Islam Arab, Islam Persia, Islam Cina, Islam Nusantara dan lainnya. Benar  bahwa Islam bersifat universal dan untuk semua umat manusia. Tapi saat yang sama, dalam mempraktekan dan mengekpresikan keislaman, mereka justru menunjukan bahwa sesuatu yang Islami itu adalah prilaku dan perbuatan yang bercorak Arab. Secara sadar atau tidak sadar, kearifan lokal dan jati diri bangsa mulai tergerus. Sebagai contoh, ketika seorang menjadi aktifis Islam dalam sebuah kelompok-kelompok Islam tertentu, maka percakapan antara mereka berubah dari mengucapkan kata “ saudara “ menjadi ikhwan-akhwat, kata “ anda” menjadi antum, ayah dan ibu menjadi abi dan umi dan lain sebagainya. Prilaku seperti itu telah menjadi identitas ke-islami-an seseorang. Contoh yang nyata adalah hotel tadi itu, “  Hotel Syariah “ yang bercorak ke-araban. Supaya dianggap berbasis syariah maka maka interiornya( harus) bercorak khas Arab.

Saya tidak anti Arab sama sekali, karena bagaimanapun juga anti sebuah suku dan sebuah bangsa dilarang dalam ajaran Islam. Sebagaimana saya juga meyakini bahwa Islam adalah agama untuk semua bangsa, tapi saat yang sama untuk menjadi seorang yang Islami  tidak  harus merubah jatidiri bangsanya kecuali jika budaya bangsanya bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan. Kalau kita tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, Islam Arab dan lainnya, maka kita harus berani memisahkan antara ajaran Islam dan budaya sebuah bangsa. Bukankah bahasa bagian dari budaya ? Lantas mengapa untuk menjadi seorang aktifis Islami (harus) merubah kosa kata saudara menjadi ikhwan, akhi dan ukhti ? Mengapa hotel tersebut supaya dikatakan berbasis syariah ( harus) didesain ala interior Arab ?

Boleh-boleh saja orang Indonesia mengikuti budaya Arab sebagaimana boleh mengikuti budaya Barat, Cina atau lainnya. Namun bukan itu yang saya maksud. Mengikuti budaya Arab bukan sebuah ekspresi keislaman seseorang karena Islam sebuah ajaran suci bukan sebuah budaya. Untuk menjadi seorang yang Islami harus mengikuti ajaran Islam bukan berarti harus mengikuti budaya Arab. Dalam pada itu, saya tidak berkebaratan terhadap komunitas keturunan Arab di Indonesia yang mempertahankan budaya dan tradisi leluhur mereka dalam pergaulan dan percakapan mereka sehari-hari, dan itu bukan berarti mereka sedang mengekspresikan keislaman mereka. Lebih dari itu, saya mendukung beberapa budaya dan tradisi mereka, seperti pemisahan yang tegas antara tamu laki-laki dan tamu perempuan dalam acara walimah,  meskipun sebagai dari mereka sudah mulai meninggalkan budaya itu.

Ala kulli hal, perlu dipisahkan mana yang menjadi bagian dari identitas Islam dan mana yang menjadi bagian dari identitas budaya. Misalnya, tarian_samrah_ atau zafin. Apakah itu bagian dari ajaran Islam atau budaya Arab? Tentu ia adalah bagian dari budaya Arab, dan dalam prakteknya pun sering menyimpang dari agama, karena adanya alat-alat musik dan iramanya yang tidak Islami. Ketika mereka sedang meragakan tarian samrah_atau _zafin bukan berarti mereka sedang mengamalkan ajaran Islam tetapi sedang mempertahankan budaya dan tradisi leluhur mereka, dan itu sah-sah saja.( Husein Alkaff)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *