Sujud Di Atas Tanah Dalam Kitab Ahlusunnah

Syiahindonesia.id – Kalau kita renungkan bahwa manifestasi dalam ibadah, ketundukan dan penghinaan diri seorang mahluk kepada penciptanya adalah dengan sujud. Dengan sujud, seorang mukmin meneguhkan peribdahannya kepada Allah Swt. Dari sini kita tahu bahwa pencipta Yang Mahaagung menetapkan bagi hamba-Nya penghinaan diri dan ketaatan ini. Maka Dia melimpakan luthf dan kebaikan-Nya kepada orang yang bersujud. Oleh karena itu, di dalam beberapa hadis diriwayatkan, “Keadaan paling dekat antara hamba kepada Allah adalah ketika sujud.

Di antara praktik-praktik ibadah, salat merupakan mikraj yang dengannya dibedakan antara orang mukmin dan orang kafir, dan sujud merupakan salah satu rukunnya. Tidak ada manifestasi penghinaan diri kepada Allah yang lebih jelas daripada sujud di atas tanah, pasir, kerikil, dan batu. Sebab, penghinaan diri dengan cara itu lebih jelas dan lebih nyata daripada sujud di atas tikar, apalagi sujud di atas pakaian yang bagus, permadani yang empuk, emas dan perak.

Dalil Sujud Di Atas Tanah Dalam Kitab Ahlusunnah

Dalam kitab Shahih Bukhori (Kitab Sahih al-bukhori, jil.1 hal 65, bab Al-Tayamum, hadis yang ke 2) Rasulullah Saw Bersabda:

وَجُعِلَتْ لِي الأرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

Rasulallah bersabda: “bagiku tanah dijadikan tempat untuk bersujud dan suci.”

Dalam hal ini Ja’far Subhani dalam kitabnya Al-I’tisham bi al-Kitab Wa al-Sunnah menjelaskan bahwa yang dipahami dari hadis ini bahwa setiap bagian dari tanah adalah tempat sujud dan suci untuk dijadikan tempat bersujud dan untuk bertayamum. Dari penjelasan hadis di atas (lihat rincian hadisnya dalam kitabnya langsung –pen) tanah dimaksudkan untuk dua hal, yaitu untuk tempat bersujud dan untuk bertayamum.

Sementara itu dalam kitab Ahkam Al-Qur’an karya ulama Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi, atau yang dikenal dengan Jashshash. Beliau menjelaskan bahwa Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga suci sebagai tempat sujud. Jika seseorang memahami riwayat tersebut bahwa seluruh tanah (bumi) adalah masjid, sementara umat lain mengkhususkan ibadahnya hanya di gereja atau sinagog, juga tidak menyimpang dari makna tersebut karena bumi terdiri dari batuan dan tanah. Karena jika tanah (bumi) itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang mengerjakan salat, maka lazimnya seluruh tanah itu juga layak untuk dijadikan tempat ibadah.

Jika para ulama fikih Syiah memandang hadis nabi saw. tersebut di atas dan hadis-hadis lainnya dengan penafsiran wajibnya sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh dari tanah tetapi tidak dimakan atau dipakai bagi para pengikutnya, maka hal itu tidak bermasalah bagi pengikut ahlusunah yang lebih memilih untuk sujud di atas sajadah atau karpet dan alas lainnya yang merupakan bahan sintetis.

Tapi bagaimana pun kita bisa melihat bahwa dalam segala kondisi nabi saw. selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi basah. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat dikening dan hidung Rasulullah saw. terdapat bekas lumpur.”

Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah Al-Anshari biasanya  akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.

عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا

Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi, Jil1, hal.389). Ibnul Atsir mengomentari hadis tersebut dan terkait kata syakwâ:

إنّهم لمّا شكوا إليه ما يجدون من ذلك لم يفسح لهم أن يسجدوا على طرف ثيابهم

“Ketika itu mereka mengadukan kepada nabi (saw.) apa yang mereka rasakan, tapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas ujung baju mereka.” Penjelasan dalam kitab An-Nihâyah tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah saw. tidak mengizinkan para sahabat sujud di atas pakaian (tsiyâb) sekalipun kondisi tanah sangat panas.

Meski demikian ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk sujud di atas kain, tetapi tidak diberi izin oleh Rasulullah saw., sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:

عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته

Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” Jika dipahami bahwa dahi harus mengenai tempat sujud sementara alas sujud terbuat dari kain, misalnya, maka tidak ada bedanya antara membuka atau membiarkan dahi dililit oleh serban. Dapat dipahami bahwa tempat sujud haruslah terbuat dari bahan selain daripada kain serban. Karenanya Rasulullah saw. juga memerintahkan tatrîb, yaitu penaburan debu, sebagaimana terdapat dalam Kanz al-‘Ummâl dan Musnad Ahmad:

روى أبو صالح قال: دخلت على أُمّ سلمة، فدخل عليها ابن أخ لها فصلّى في بيتها ركعتين، فلمّا سجد نفخ التراب، فقالت أُمّ سلمة: ابن أخي لا تنفخ، فإنّي سمعت رسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) يقول لغلام له يقال له يسار ونفخ: ترّب وجهك للّه

Abu Shalih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah lalu seorang anak saudaranya masuk ke rumah. Ia salat dua rakaat di sana. Ketika bersujud, ia meniup at-turâb (di atas tempat sujudnya). Ummu Salamah berkata, “Anak saudaraku, jangan meniupnya! Sungguh saya mendengar Rasulullah saw. berkata kepada seorang budaknya yang bernama Yasar, “Lekatkanlah wajahmu pada tanah karena Allah.” Selain memerintah, Rasulullah saw. juga melarang seseorang untuk membersihkan dengan cara meniup debu atau tanah yang ada di tempat sujud.

Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii dalam Al-Umm mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:

وَلَوْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ ، وَلَمْ يُمِسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ ، وَإِنْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَى جَبْهَتِهِ وَدُونَهَا ثَوْبٌ أَوْ غَيْرُهُ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرِيحًا فَيَكُونُ ذَلِكَ عُذْرًا ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَيْهَا وَعَلَيْهَا ثَوْبٌ مُتَخَرِّقٌ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ سَاجِدٌ وَشَيْءٌ مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ

“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, insya Allah Taala. Bila ia sujud dan pada dahinya terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah kecuali karena terdapat luka, karena itu adalah uzur. Jika ia sujud dan pada dahinya terdapat kain yang robek sehingga bagian dari dahinya menyentuh tanah maka sah karena ia sujud dengan bagian dari dahinya menyentuh tanah.” (Al-Umm, 1/114)

Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya harus menyentuh tanah (yang oleh sebagian orang diartikan secara umum dengan “bumi”) dan dibolehkan menggunakan kain hanya ketika di dahinya terdapat luka dan harus menyisakan bagian dahi yang terbuku untuk tetap terkena tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain sintetis? Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya bidah) ketika orang Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang diajarkan ahlulbait? Bukankah sujud di atas permadani atau sajadahlah yang merupakan bidah?

Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang digunakanlah tikar dari daun kurma (al-hashîr) atau tikar dari bambu (al-bawârî) dan terkadang karena uzur atau darurat beliau mengizinkan sahabat untuk menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka Rasulullah akan melarangnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *