Sahabat Nabi SAW Perspektif Syiah Bagian I
Syiahindonesia.id – Al-Ashhâb, Al-Shahâbah, Shahaba, Yashhubu, Shuhbatan, Shahâbatan, Shâhibun, artinya: teman bergaul, sahabat, teman duduk, penolong pengikut. Al-Shâhib artinya kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan atau menjaga sesuatu. Kata ini juga bisa diartikan sebagai orang yang mengikuti suatu paham atau mazhab tertentu. Misalnya, kita bisa mengatakan: pengikut Imam Ja’far, pengikut Imam Syafi’i, pengikut Imam Malik dan lain-lain. Dapat juga kita menyatakannya seperti dalam frasa istashhaba al-qaum, yang artinya, mereka saling bersahabat satu sama lain, atau istashhaba al-bar, artinya, menyelamatkan unta.[i]
Definisi Sahabat
Syiah mendefinisikan sahabat seperti yang dikemukakan dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai berikut: kata al-shâhib dalam bentuk jamaknya (plural) ialah shahab, ashhâb, shihâb, dan shahâbah. Kata al-shâhib berarti yang menemani (al-mu‘âsyir) dan yang selalu menyertai ke manapun (al-mulâzim) serta “tidak dikatakan kecuali kepada seseorang yang sering menyertai temannya”. “Dan persahabatan mensyaratkan adanya kebersamaan yang lama”. Persahabatan terjadi di antara dua orang. Dengan demikian, jelas bahwa kata al-shâhib (sahabat) dan pluralnya al-ashhâb mesti disandarkan kepada sebuah nama ketika dalam percakapan. Seperti yang terdapat dalam Alquran, yaitu firman-Nya, “Yâ shâhibayissijni” (wahai dua temanku di penjara) dan “ashhâbu Musa” (para sahabat Musa). Pada masa Rasulullah Saw dikatakan shâhib Rasulillah dan ashâbu Rasulillah, dengan disandarkan (mudhâf) kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana juga digunakan dalam ungkapan: ‘ashhâbu bai‘ati al-syajarah‘ (komunitas baiat di bawah pohon) dan ashhâbu al-shuffah (para sahabat yang tinggal di serambi masjid), yang di dalamnya kata ashhâbu tersebut dinisbatkan kepada selain Nabi.[ii] Kata shâhib dan ashhâb pada saat itu memang belum digunakan sebagai nama untuk para sahabat Rasulullah Saw, tetapi kaum Muslim terbiasa menamakan orang-orang Muslim (pengikut Rasul Saw) dengan istilah shahâbi dan ashhâb. Jadi, penamaan ini termasuk jenis penamaan yang dilakukan oleh kaum Muslim dan terminologi yang dibuat kemudian (mutasyarri’).
Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Syiah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh Alquran dan Sunnah. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Dalam banyak ayat Alquran, terutama dalam Surat Al-Barâ’ah, Al-Nûr, dan Al-Munâfiqûn, Alquran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah orang Muslim yang hidup pada waktu hidup Nabi – dan, karena itu, dalam definisi umum yang berlaku, dapat disebut sebagai sahabat – dan mengecam mereka dengan keras.
Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi yang melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah. Di bawah ini sekadar contohnya:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ È١٠١Ç
Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. (QS. Al-Taubah [9]: 101)
وَآَخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآَخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ È١٠٢Ç
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Taubah [9]: 102(
Syiah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, bergantung pada amalnya, sesuai dengan prinsip Alquran yang menyatakan,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ È١٣Ç
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS. Al-Hujurât [49]: 13).
Maka, siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi, ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada Alquran sesudah wafatnya, Syiah mengakuinya dan mengategorikannya sebagai orang salih.
Hal yang pertama kali harus disadari, berbeda dengan mazhab Ahlus Sunnah, memang Syiah bermula dengan isu khilafah sepeninggal Nabi. Syiah percaya bahwa hak Ali tidak diberikan dalam hal ini (otoritas kepemimpinan agama dan administratif). Belum lagi ada Perang Jamal dan Perang Shiffin, sebagai pemberontakan terhadap Khalifah Ali, yang melibatkan salah seorang istri Nabi (Siti ‘Aisyah) dan seorang sahabat Nabi (Mu‘awiyah). Belum lagi peristiwa Karbala yang melibatkan pembunuhan sadis atas keluarga salah seorang cucu Nabi dan putra Ali, dan keluarganya.
Jadi, sampai batas tertentu, kehadiran Syiah memang bersifat polemis. Karena itu, memang tak bisa diharapkan bahwa Syiah terbebas dari upaya-upaya mengevaluasi (baca: mengkritik) sebagian tindakan istri Nabi atau orang-orang yang diakui sebagai Sahabat. Meskipun demikian, harus dibedakan antara menghujat dan bersikap kritis. Mengecam atau menghujat orang-orang yang dikategorikan sebagai sahabat, apalagi istri-istri Nabi, adalah suatu perbuatan yang terlarang.
Namun, untuk keperluan ilmiah dan kesejarahan, sikap kritis diperlukan. Mengingat pribadi-pribadi tersebut, betapapun mulianya, diterima sebagai salah satu sumber ajaran agama Islam, termasuk juga sebagai perawi hadis-hadis dari Nabi Saw. Para ulama Ahlus Sunnah, misalnya, tak ragu untuk mengakui penyesalan Siti ‘Aisyah atas pemberontakannya terhadap Khalifah Ali ibn Abu Thalib yang meletuskan Perang Jamal. Tak juga menahan diri dari mengisahkan kesedihan Nabi akibat perbuatan sebagian istri beliau. Pada kenyataannya, meski sebagai prinsip umum para ulama Ahlus Sunnah menyebut bahwa semua sahabat bersifat terlindungi dari kesalahan (‘udûl), tak jarang dalam kenyataannya sebagian di antara mereka – berdasar hadis-hadis sahih – menyebutkan kesalahan sebagian orang yang termasuk dalam golongan sahabat. Memang, sikap kritis seperti ini diperlukan, antara lain, sebagai dasar perlakuan al-jarh wa al-ta’dîl (mengkritik dan menegaskan keadilan (untuk menilai kekuatan atau kesahihan hadis yang mereka riwayatkan. Tentu saja kesemuanya ini harus dilakukan dengan tetap memelihara penghormatan kita terhadap pribadi-pribadi mulia ini.
Klasifikasi Sahabat
Dalam mengklasifikasikan sahabat kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tâbi’în, yang mengikuti jalan para sahabat yang salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ È١٠٠Ç
Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sâbiqûn al-awwalûn, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (QS. Al-Taubah [9]: 100).
Sahabat Menurut Peristilahan Al-Qur’an
Kata Shuhbah – persahabatan – dapat diterapkan pada hubungan: antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain (Al-Kahf ayat 6), antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbada keyakinan (Lukmân ayat 15), antara dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan (Al-Nisâ’ ayat 36), antara tâbi’ (pengikut) dengan matbû’ (yang mengikuti) (Al-Taubah ayat 40), antara orang mukmin dengan orang kafir (Al-Kahf ayat 34 dan 37), antara orang kafir dengan orang kafir lainnya (Al-Qamar ayat 29), antara seorang Nabi dengan kaumnya yang kafir yang berusaha menghalangi dari kebaikan dan mengembalikannya pada kesesatan (Al-Najm ayat 2, Saba ayat 41). Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir untuk masing-masing ayat di atas.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (selanjutnya kita sebut; Sunni) bersepakat dalam mendefinisikan sahabat dengan keadilan mereka (sahabat). Pendapat mereka antara lain:
- Sa’id bin Musayyab, “Sahabat, adalah mereka yang berjuang bersaama Rasulullah selama setahun atau dua tahun dan berperang bersama Rasul sekalil atau dua kali.”
- Al-Waqidi, “Kami melihat, para ulama mengatakan, mereka (sahabat Rasulullah) adalah siapa saja yang melihat Rasul, mengenal dan beriman kepada beliau, menerima dan ridha terhadap urusan-urusan agama walaupun sebentar.”
- Ahmad bin Hanbal, “Siapa saja yang bersama dengan Rasul selama sebulan, atau sehari, atau satu jam atau hanya melihat beliau saja, maka mereka adalah sahabat Rasulullah Saw.”
- Imam Bukhari, “Barang siapa bersama Rasulullah atau belihat beliau dan dia dalam keadaan Islam, maka dia adalah Rahabat Rasulullah Saw.”
Al-Qawali menambahkan, kebersamaan itu walaupun sejam saja, tapi secara umum kebersamaan itu mempersyaratkan waktu yang lama. Al-Jaziri berkata, mereka adalah yang hadir dalam perang Hunain yang berjumlah dua belas ribu orang, yang ikut dalam perang Tabuk, dan ikut bersama Rasul dalam haji wada’. Demikianlah definisi sahabat menurut Sunni, walaupun secara bahasa dan al-‘urf al-‘amm memiliki perbedaan jauh yang persahabatan itu mensyaratkan kebersamaan dalam waktu yang lama. Jadi tidak bisa dimasukkan dalam definisi ini, bagi mereka yang bertemu hanya dalam waktu singkat, atau hanya mendengar perkataan atau hanya dengan bercakap-cakap singkat, atau tinggal bersama dalam waktu yang singkat. Yang mengherankan adalah, bahwa Sunni sudah sampai kepada kesepakatan tentang keadilan sahabat sedangkan mereka masih saling ikhtilaf dalam pendefinisian sahabat?
Apakah Tujuan dari Tinjauan Kehidupan Sahabat?
Sebagian besar ulama Sunni memasukan sahabat Nabi ke dalam wilayah profan sangat holistik, sehingga sering kali kita mendengar pengafiran, zindik, munafik dan pembuat bidah bagi mereka yang melanggar secret zone-line ini. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishâbah, jilid 1 h. 17 mengatakan, “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah ‘adil, kecuali dan barang siapa menentang ini adalah ahli bidah.” Al-Khatib berkata, “Keadilan sahabat dengan legitimasi Allah Swt adalah sesuatu yang tetap dan telah diketahui. Allah telah memilih mereka (sahabat) dan mengabari tentang kesucian mereka.” Kemudian Ibnu Hajar berkata, “Al-Khatib meriwayatkan dari Abi Zar’ah Al-Razi, ‘Kalau kamu melihat seseorang berkata tentang kekurangan (baca: kejelekan) sahabat Rasul, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah zindik. Karena Rasulullah adalah haq, Alquran dan yang datang bersamanya adalah haq. Sahabat telah menyampaikan itu semua kepada kita. Orang-orang yang ingin mencemari keyakinan kita tentang itu, adalah mereka yang ingin menolak kebenaran Alquran dan Sunnah. Maka menolak mereka adalah lebih utama sebab mereka adalah kaum zindik.'”
Jawaban atas pernyataan di atas akan kita bahas pada bab-bab berikutnya. Tapi, terlepas dari itu semua, kritik terhadap akidah dan sepak terjang sahabat bertujuan bukan untuk membatalkan kebenaran Alquran dan Sunnah, atau ingin menghilangkan keyakinan kaum muslim. Tapi bila ingin mengetahui dan menguji keadilan para sahabat, maka kita harus menguji secara naqdi (kritis), untuk mengetahui yang saleh dan thaleh, untuk kemudian kita ambil dari mereka yang saleh, agama bimâ huwa yang diajarkan Rasul dan menolak sebaliknya.
Kritik akan sampai kepada hasil yang diharapkan bila saja, kita mampu melihat secara objektif objek yang kita kritik. Salah satunya adalah melepaskan nilai-nilai yang sudah dari dulu diletakkan para pendahulu kita. Tentu saja harus segera digarisbawahi, bahwa tidak setiap yang kuna itu begitu saja kita tolak, tapi yang ingin kita lakukan hanya ingin bersikap ilmiah dengan mengolah dan menguji kembali hal-hal yang sudah dianggap paten oleh para pendahulu kita.
Sebagai contoh: Imam Hanbal (lih. Kitab Al-Sunnah Ahmad bin Hanbal h. 50) “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar. Kemudian secara berurut, Umar, kemudian Ustman, kemudian Ali ra kemudian para sahabat Muhammad Saw setelah empat Al-Khulafa’ Al-Rasyidun. Dia melanjutkan, tak seorang pun boleh membanding-bandingkan mereka, atau mencukupkan satu dari yang lain…..”
Imam Asy’ari juga berpendapat bahwa, kita percaya kepada sepuluh ahli surga sebagaimana yang disabdakan Rasul, kita mengikuti mereka dan seluruh sahabat Nabi Saw dan menerima segala tentang mereka.[iii]
Cukupkah kita terhadap pernyataan di atas? Sementara sedemikian jelasnya sejarah panjang perjalanan sahabat Rasul yang saling berikhtilaf dan bertentangan dari permasalahan ritual ibadah sampai akidah! Tidakkah para ulama di atas membaca sejarah bahwa sahabat berbeda sampai dengan Rasul sendiri? Tidakkah mereka membaca bahwa sesama sahabat saling menumpahkan darah! Bagaimana mungkin kita bisa menerima seluruhnya, dan tidak boleh menolak seluruhnya sekaligus zindik dan kafir bila mengambil segolongan dari mereka! Ini sangat bertentangan dengan Alquran dan Sunnah Nabawiyah sekaligus akal sehat!
Alquran telah mensifatkan sebagian sahabat dengan fasiq sebagaimana firman-Nya, Wahai orang-orang beriman, apabila datang padamu seorang fasiq…..(QS. Al-Hujurât [49]: 6). Sedangkan dalam hadits, mensifati golongan yang membunuh ‘Ammar bin Yasir sebagai golongan yang Al-Baghiyah (pembangkang). Rasul bersabda, “Engkau (‘Ammar) akan dibunuh golongan Baghiyah, engkau memanggil mereka ke surga, sedangkan mereka memanggilmu ke neraka” (Al-Jam’ bain Al-Shahîhain 2/461). Sedangkan untuk orang-orang khawarij Rasul menyebut mereka orang-orang yang membunuh golongan yang paling utama dalam kebenaran.
Hadits-hadits seperti ini banyak termuat dalam kitab Shahîh dan Masanid. Apabila berpegang kepada sahabat adalah sebuah kewajiban sedangkan mempertanyakan ihwal mereka adalah haram, kenapa Alquran dan Rasulullah Saw mengabarkan kepada kita sifat-sifat seperti di atas. Akal sehat tidak menerima penutupan kebenaran dengan kesalahan, menutupi kebenaran, dan memosisikan sama antara yang benar dan yang salah.
[i] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, h. 915.
[ii] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, h. 2400-1.
[iii] Al-Ibanah h. 40/Maqalat, h. 294.