Puasa Menuju Mihrab-Nya Menurut Para Imam Bagian I

Syiahindonesia.id – Apakah mungkin kita merasa tidak butuh kepada Tuhan yang telah menganugrahkan kehidupan pada alam semesta dan manusia?

Perjamuan Allah Swt

Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(al-Baqarah: 183)

Ketika menyambut bulan penuh berkah ini, kita harus mempersiapkan diri secara spiritual. Itu agar kita merasa—sebagaimana disebutkan dalam khutbah Nabi saww—bahwa kita sedang berada dalam perperjamuan Allah Swt. Ya, kita harus mencari keuntungan dari perjamuan ini yang berupa ampunan, keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan rezeki dari Allah Swt, yang pada gilirannya menjadikan manusia beserta akal, hati, jiwa, dan hidupnya, dekat dengan Tuhannya.

Kita sangat membutuhkan kedekatan dengan Allah Swt. Sebab ketika memikirkan keberadaan diri, kita menyadari bahwa Dia-lah yang telah menganugrahkannya kepada kita: Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?(al-Fathîr: 3) Dan pabila kita hendak memikirkan seluruh gerakan kita dalam hidup, kita tahu bahwa semua itu berasal dari nikmat Allah Swt. Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).(al-Nahl: 53) Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.(al-Nahl: 18)

Kebaikan Dibalas Keburukan

Kita tahu bahwa kehidupan dengan berbagai nikmatnya berasal dari Allah dan berada dalam lingkup pemeliharaan-Nya. Bahkan Allah Swt tetap menganugrahkan kenikmatan pada kita sekalipun kita bermaksiat dan menjauhkan diri dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan-Nya. Inilah yang diungkapkan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain dalam doa Abu Hamzah al-Tsimali, “Engkau menanamkan cinta pada kami dan kami membalas-Mu dengan berbuat dosa-dosa.” “Kebaikan-Mu turun pada kami dan kejahatan kami naikkan pada-Mu.” Allah Swt memberi kita makanan, minuman, dan tempat tinggal, sementara kita menggunjing, mengadu domba, berzinah, memakan harta secara batil, dan menyebarkan fitnah. Dalam doa Abu Hamzah disebutkan, “Malaikat mulia (pencatat amal perbuatan) senantiasa datang kepada-Mu setiap hari dengan membawa amal buruk (kami).” Merekalah para malaikat yang memberikan laporan amal perbuatan kita. “Hal itu tidak menghalangi-Mu meliputi kami dengan nikmat-nikmat-Mu dan Engkau muliakan kami dengan anugrah-anugrah-Mu. Mahasuci Engkau, sungguh Engkau Mahabijak, Mahaagung, Mahamulia. Engkau Pencipta dan tempat kembali.”

Cinta Allah

Kita sudah tahu bahwa segala hal yang kita miliki di alam mahaluas ini dan apa yang ada pada diri kita berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta. Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(al-Mu’minûn: 14) Segala sesuatu di alam ini, seperti air, udara, sel-sel, dan organ tubuh manusia, semata-mata adalah ciptaan Allah Swt. Apakah mungkin kita merasa tidak butuh kepada Tuhan yang telah menganugrahkan kehidupan pada alam semesta dan manusia?

Kita bergantung pada Allah

Kita bergantung pada Allah Swt dengan segenap keberadaan kita, termasuk di saat kematian menjelang atau sewaktu berdiri di hadapan-Nya. Ini mengharuskan kita menjalin hubungan yang kokoh dengan Allah Swt. Bagaimana kita bisa mengokohkan hubungan dengan orang lain berdasarkan kepentingan-kepentingan, sementara kita tidak menjalin hubungan yang erat dengan Allah Swt dan memupuk cinta kepada-Nya, padahal kita sangat butuh dekat dengan-Nya?

Inilah yang diungkapkan Rasulullah saww tatkala menyerahkan panji peperangan kepada Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib dalam Perang Khaibar, “Esok hari aku benar-benar akan memberikan panji perang kepada seorang lelaki yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya, serta dicintai Allah Swt dan Rasul-Nya.” Inilah cinta timbal-balik antara kedua belah pihak. Pertanyaannya, bagaimana cara kita meraih cinta ini?

Allah Swt menjelaskan persoalan penting ini dalam al-Quran al-Karim melalui lisan Nabi-Nya: Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) lain kafir.(آli Imrân: 13) Karena Rasulullah saww menjelaskan ini dari sisi Allah Swt, maka barangsiapa mematuhinya, berarti telah mematuhi Allah. Mengikuti Rasul merupakan bukti kecintaan terhadap Allah, karena Dia mencintai orang-orang yang bertaubat (sesungguhnya Allah Swt mencintai hamba yang terjatuh dalam dosa dan kemudian bertaubat). Dan Allah Swt tidak mencintai orang-orang yang berkhianat, berdusta, dan munafik. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang benar dan membenci orang-orang jahat atau zalim. Apakah masuk akal; Anda mencintai Allah sementara Anda berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi?[]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *