Pandangan Irfani Imam Khomaini Tentang Manusia (Bagin I)

Pandangan Irfani  Imam Khomaini Tentang Manusia (Bagin I)

Husein Alkaff[1]

Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan sekaligus paling unik, jika dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Karena keunikannya inilah, manusia selalu menarik untuk diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan mengenai manusia dan hakekatnya seolah-olah tidak pernah mengenal kata “tuntas”, walaupun telah menggunakan perspektif yang bermacam-macam. Keunikan dan kedalaman hakekat kemanusiaan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu yang membahas manusia dari berbagai macam perspektif yang berbeda-beda. Dalam perspektif filsafat, disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (al hayawânu al-nâthiq), karena manusia memiliki nalar intelektual (akal). Dengan nalar intelektual inilah manusia berpikir, menganalisis, memperkirakan, membandingkan, menyimpulkan, dan beragam aktivitas intelektual lainnya. Nalar intelektual inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (etika), serta antara yang benar dan salah (logika). Adapun dalam perspektif  irfan atau spiritualitas Islam, disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan jiwanya, ketika jiwanya suci maka akan tampil prilaku suci dan terpuji, sebaliknya jika jiwanya tidak suci maka akan tampil prilaku yang tak suci atau tercela. Karena keistimewaan dan keunikan manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya, nalar dan jiwa manusia sering “digelisahkan” oleh berbagai persoalan mengenai kehidupannya.

Salah satu persoalan utama yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah mengenai tujuan penciptaan alam semesta, termasuk adalah tujuan penciptaan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam raya. Dari sudut pandang spiritualitas atau mistisisme manusia pada umumnya memiliki gejala konstan akan kerinduan nurani (jiwa) untuk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan. Kemanunggalan dengan Tuhan tersebut merupakan ultimate goal (tujuan utama) dari penciptaan manusia, dan oleh karena itu setiap gerak langkah manusia dalam hidup dan kehidupannya mestilah didasari atas upaya mencapai kemanunggalan yang abadi dengan Tuhan sebagai modus existence. Posisi Tuhan sebagai modus existence didasarkan pada pandangan kaum urafa yang menyatakan potensialitas diri yang hakiki manusia pada sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas kepada diri yang bersifat material (jasmaniyah) semata. Potensialitas hakiki manusia yang tak terhingga tersebut merentang dari titik awal penciptaan yang tak diketahui (azal) hingga titik keabadian yang tak diketahui pula (abad). Potensialitas hakiki tersebut adalah ruh Ilâhiyah yang merupakan awal dan akhir kehidupan manusia, yang jika diwujudkan dalam ranah praksis kehidupan menjadi spirit sekaligus orientasi gerak kehidupan. Hal ini secara implisit tergambar dalam firman Allah, “ Innalillahi wa inna ilaihi raji’un “.

Irfan merupakan bidang ilmu yang berkaitan dengan ruh, hati (qalb), dan jiwa (nafs). Jika hati telah mendapatkan pancaran (emanasi), maka ia dapat merasakan eksistensiNya, merasakan keagunganNya, dan menikmati pesonaNya yang Tak Terbatas dan Abadi . Dalam perspektif para urafa, irfan merupakan puncak dari realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap terhadap kehambaan manusia kepada Allah sebagai Sang Modus Existence.

Sebagai seorang penganut mazhab Ahlul bait dan besar dalam lingkungan religius yang kuat, maka cara pandang (word-view) Imam Khomeini terhadap wujud, makrifatullah dan makrifah manusia banyak dipengaruhi oleh pemahaman agama, irfani dan filosofi yang paripurna. Beliau mengatakan,

“ Islam adalah sebuah agama, berbeda dengan agama-agama lainnya yang tidak berpijak pada tawhid, yang consern terhadap semua urusan; personal, sosial, lahiriah, batiniah, kebudayaan, politik, militer dan ekonomi. Islam mengawasi semua itu, dan tidak mengabaikan satu urusan pun, meskipun kecil, yang ada kaitannya dengan pembinaan manusia dan masyarakat dan berkaitan dengan pengembangan material dan spiritual. Islam memerhatikan rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan yang merintangi jalan kesempurnaan personal dan masyarakat, serta berupaya menghalaunya.

Imam Khomeini dalam berbagai tulisannya sering menyatakan pandangannya tentang manusia dan segala urusan yang berkaitan dengan manusia, seperti penciptaan manusia, haqiqat manusia, pendidikan manusia dan lain sebagainya. Namun, secara khusus beliau mengkaji tentang manusia secara rinci dan dalam pada bukunya yang berjudul Mishbâh al Hidâyah ila al Khilâfah wa al Wilâyah, Syarh Du’â Sahar dan al Arba’ûna Hadîtsan. Menurut beliau, sesungguhnya manusia merupakan sebuah cermin yang dengannya segala sesuatu dapat terlihat. Ia laksana mata yang dengannya manusia melihat benda-benda di luar.

Pandangan irfani Imam Khomeini tentang manusia ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, karena agama sendiri, menurut beliau, diadakan untuk melayani manusia dan para Nabi pun diutus demi kepentingan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi.pandang ini sesuai dengan ayat yang berbunyi,

“Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”  (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)

“Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.”  (Qs. Al-An’am [6]: 165)

Karena itu, semua sisi gerakan manusia; sosial, politik dan ritual harus dikerahkan dalam sebuah perjalanan menuju Allah swt. Manusia di alam mumkin ini sebagai pusat dan dasar dari alam. Ia merupakan penghias alam wujud dan sebaik-baiknya makhluk. Agar manusia dapat menempuh perjalanan menuju Allah swt. di dunia ini, maka Allah swt., karena kasih sayangNya, mengutus para Nabi dan Rasul serta menurunkan kitab-kitabNya untuk membimbing dan memandu manusia. Sehingga dengan bimbinganNya manusia menyadari haqiqat dirinya, yaitu makhluk Rabbâni ( bercirikan ketuhanan ) dan mencapai kesempurnaan dirinya. Dalam menafsirkan surat al ‘Alaq, beliau mengatakan,

“ Manusia dapat mewujudkan tujuan para Nabi, karena ia merupakan subyek ilmu dan pendidikan mereka. Mereka diutus untuk mendidik manusia. Mereka diutus agar manusia yang alami ini naik dari tingkat alam ke tingkat yang lebih tinggi di atas alam tabiat ini, bahkan di atas alam jabarut. Manusia dapat mewujudkan tujuan para Nabi. Masing-masing dari mereka datang demi manusia dan untuk mendidik manusia.

Para Nabi diutus untuk menyadarkan dan mendidik kita. Para nabi diutus demi manusia dan membinanya. Kitab-kitab para Nabi sesungguhnya buku pembinaan manusia. Semua yang ada di alam ini diciptakan untuk melayani manusia. Manusia adalah sumber kabaikan-kebaikan. Jika manusia ini tidak menjadi manusia yang sebenarnya, maka dia menjadi sumber segala kegelapan. Sesungguhnya makhluk ini berdiri di persimpangan dua jalan; pertama jalan manusia dan kedua jalan yang menyimpang dari kemanusiaan. Karena itu, manusia harus selamat dari segala watak kebinatangan “.

[1] Dosen Filsafat di STAI SADRA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *