Pandangan Irfani Imam Khomaini Tentang Manusia (Bag.2)

 

Pandangan Irfani Imam Khomaini Tentang Manusia (Bag.2)

Husein Alkaff

Manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.

Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhan ini pun memiliki tahapan di mana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan. Dia akan menggapai maqam tersebut dimana dia tidak ada sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan, wujudnya seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya selain untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan posisi seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian untuk dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan maqam seperti ini dimana tidak ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah dari Tuhan. Berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhûri dan penyaksian irfani,  Imam Ali as berkata,  “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat ” , juga berkata, “Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya “.

Kesempurnaan manusia terjadi saat manusia telah menikmati perjumpaan dengan Allah swt. Imam Khomeini berkata,

“Harus diketahui bahwa apa yang mereka maksud bahwa jalan menuju pertemuan dengan Tuhan (liqâ Allâh) dan penyaksian keindahan dan keagungan Yang Maha Benar, ini bukanlah berarti bahwa pengenalan hakiki terhadap dzat Tuhan Yang Maha Suci adalah merupakan suatu hal yang dibenarkan, atau pada ilmu hudhuri dan penyaksian spiritual yang obyektif serta pelingkupan menyeluruh atas Zat Tuhan adalah hal yang memungkinkan, melainkan kemustahilan pencapaian pengetahuan dan pengenalan hakiki terhadap Zat Suci Tuhan baik dalam lingkup pengetahuan universal (pengetahuan rasional dan persoalan-persoalan argumentatif), tafakkur, penyaksian irfani, dan penyingkapan dengan mata batin adalah kesepakatan seluruh filosof dan urafa. Akan tetapi, mereka yang mengklaim berada di dalam maqam ini mengatakan bahwa seorang salik akan mencapai kesucian hati dan menerima manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan setelah mencapai ketakwaan sempurna, menyingkirkan segala keinginan hati kepada segala sesuatu di seluruh alam, menolak segala tingkatan-tingkatan spiritual, menyirnakan segala ego dan keakuan, perhatian sempurna dan penerimaan menyeluruh atas Tuhan, Nama-nama, Sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Zat Suci Tuhan, dan melakukan riyadhah hati. Dengan demikian, akan terkoyaklah hijab-hijab tebal antara hamba dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kemudian dia akan fana dalam Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, lalu dia akan mencapai suatu kemulian, kesucian, dan keagungan. Puncaknya, dia akan menggapai kesempurnaan zat. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi hijab dan penghalang antara jiwa suci para salik dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan kemungkinan sebagian dari Urafa telah mampu menyirnakan hijab cahaya, yakni hijab Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan, dan telah menerima manifestasi Zat Suci Tuhan serta menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci-Nya. Dalam penyaksiannya ini, dia menyaksikan dirinya berada dalam cakupan dan lingkupan hakiki Zat Tuhan serta fana dalam Zat-Nya. Lantas dia melihat dengan mata batinnya bahwa wujudnya dan seluruh makhluk adalah manifestasi-Nya. Dan apabila di antara Tuhan dan makhluk pertama-Nya -yang bersifat non marteri itu tidak terdapat hijab dan bahkan telah ditegaskan secara rasional bahwa di antara makhluk-makhluk non materi itu sendiri tidak terdapat hijab-, maka di antara Tuhan dan hati salik -yang keberluasan dan keberliputannya sederajat dengan mahluk non materi dan bahkan memiliki derajat yang paling tinggi- tidak terdapat hijab dan penghalang “.

Dalam pandangan Imam Khomeini sesungguhnya haqiqat manusia adalah sebuah haqiqat yang menghimpun seluruh alam-alam wujud. Kedudukan ini, kata beliau, tidak layak diduduki kecuali oleh manusia saja. Pernyataan ini disinggung oleh beliau dalam komentarnta terhadap Du’a Sahar,

“ Ketahuilah bahwa manusia adalah makhluk satu-satunya yang menghimpun semua tingkatan-tingkatan alam nyata, khayak dan visual, dan sesungguhnya alam-alam ghaib dan yang jelas serta yang ada padanya tersimpan dalam wujud manusia yang komplek “

Beradasarkan keterangan beliau itu, maka khalifah ( wakil) Allah swt. sama dengan dengan Yang diwakilinya, yaitu menghimpun sifat-sifat yang saling berlawanan. Atas dasar itu, Allah swt. menegur Iblis yang enggan sujud di hadapan khalifahNya, “ Gerangan apa yang mencegahmu untuk sujud di hadapan ciptaan yang Aku ciptakan dengan kedua tanganKu “. Maksudnya adalah kamu ini makhluk yang diciptakan dengan satu tangan, maka sepatutnya kamu sujud di hadapan makhluk yang diciptakan dengan kedua tanganKu ini.

Dalam keterangan lain, Imam Khomeini mengatakan bahwa Manusia yang telah mencapi maqam fanâ dalam Tuhan (fanâ fillah) akan mempunyai suatu karakterisitk dan kekhususan. Karakterisitk dan kekhususan yang dimaksud oleh beliau adalah makna dari hadis Qudsi yang berbunyi,

“Hamba-Ku tidak akan mencapai kedekatan kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Ku dari apa-apa yang diwajibkan atasnya dan sesungguhnya dia pasti dekat kepada-Ku dengan perbuatan nawafil (perbuatan-perbuatan yang sunnah dan mustahab) sedemikian sehingga Aku mencintainya, dan ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar dan Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat dan Aku menjadi lisannya yang dengannya dia berbicara serta Aku menjadi tangannya yang dengannya di mengambil, apabila dia berdoa kepada-Ku Aku akan mengabulkannya dan kalau dia meminta kepada-Ku Aku akan memberikannya.”

Berdasarkan hadis ini, manusia yang telah mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan maka keinginan dan kehendaknya dengan izin Tuhan akan berlaku di alam ini seperti kehendak dan iradah Tuhan Yang Maha Tinggi. Penglihatannya menjadi penglihatan Tuhan, pendengarannya menjadi pendengaran Tuhan, dan tangannya menjadi tangan Tuhan. Yakni segala amal dan perbuatannya telah mendapatkan warna ketuhanan, dengan demikian, dengan izin Tuhan, dia dapat mengatur dan mengubah sesuatu di alam ini. Dengan ungkapan lain, karena dia memiliki kekuasaan penuh atas hukum-hukum alam (hukum takwiniyyah) maka dia adalah penguasa atas kekuatan-kekuatan alam. Lebih dari itu, doanya senantiasa terkabulkan, yakni apa saja yang diinginkan dari Tuhan niscaya Tuhan akan mengabulkan segala permintaan dan permohonannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *