Mencintai Allah swt (Mahabbatullah)

 Mencintai Allah swt (Mahabbatullah)

Ma’rifatku, wahai Junjunganku, adalah petunjukku kepadaMu, dan kecintaanku padaMu adalah pengantarku kepadaMu ( Imam Ali Zain al Abidin as)

Setiap manusia pasti menyukai sesuatu, atau memiliki rasa cinta kepada sesuatu. Kecintaannya kepada sesuatu itu disebabkan oleh banyak sebab; keindahan, kebaikan dan keserasian. Manusia karena fitrahnya menyukai sesuatu yang indah tanpa cacat sedikitpun, atau mencintai sesuatu yang baik tanpa kejelekan sedikitpun, atau menginginkan sesuatu yang sesuai dengan dirinya tanpa mengecewakan sedikitpun. Namun yang dia sukai, cintai dan inginkan seperti itu tidak akan didapatinya dari benda-benda materi karena benda-benda materi terbatas dan mempunyai kekurangan. Oleh sebab itu, ketika dia mendapatkan sesuatu yang indah, dia akan menyukainya, namun ketika ada sesuatu yang lebih indah dari sesuatu itu, maka kesukaannya beralih ke sesuatu yang baru itu, dan seterusnya. Demikian pula dengan kebaikan dan keserasian.

Pengetahuan secara umum dan makrifatulah secara khusus bertumpu pada kekuatan akal, sedangkan cinta bertumpu pada kebersihan hati. Hati merupakan kekuatan (potensi) yang luar biasa.  Kekuatannya akan tampak jelas ketika ia telah mendapatkan dambaan dan pujaannya. Kekuatan hati akan mengalahkan semua yang ada di hadapannnya. Seorang yang tengah jatuh cinta terkadang bertindak di luar nilai-nilai dan aturan-aturan yang normal dan umum. Dia bisa menjadi seorang yang gila dan mabuk karena cinta. Gemerlap dan kesesakan dunia yang ada di sekelilingnya tidak lagi mencuri perhatiannya. Baginya kehidupan semuanya adalah kekasihnya saja. Dunia yang luas telah terpenuhi oleh kekasihnya saja sehingga tidak ada tempat untuk selainnya. Disebutkan bahwa karena cinta batu menjadi permata, karena cinta air asin terasa manis. Dalam dunia romantisisme kita mengetahui legenda Romeo dan Juliete atau Layla dan Majnun.

Itulah kekuatan hati yang sangat besar, dan itu merupakan karunia Allah swt. untuk manusia. Karena dengan hati, dunia menjadi indah dan menawan. Kekuatan hati tidak sama dengan kekuatan akal. Masing-masing mempunyai peranan dan wilayah yang berbeda-beda, namun masing-masing dari keduanya saling melengkapi; akal mengarahkan manusia ke arah kebenaran yang sesungguhnya dan kebaikan yang murni, sedangkan hati mendorongnya untuk mencintai kebenaran dan kebaikan. Setiap manusia dibekali dengan keduanya oleh Allah swt. dan itu merupakan bagian dari fitrah manusia yang suci.

Para ulama akhlak menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah manusia mencintai Allah swt. karena keindahan yang mutlak, kebaikan yang mutlak dan keserasian yang mutlak hanya milikNya. Kalau saja manusia mengikuti dorongan hatinya yang suci dan menggunakan akalnya yang jernih serta mendengarkan seruan agama yang benar, maka dia dengan mudah mendapatkan dambaan dan pujaan hatinya, yaitu Allah. Dia lah Zat yang Maha Indah, Maha Baik dan Maha Harapan. Oleh karena kebanyakan manusia salah dalam menentukan obyek cinta dan kesukaannya, maka mereka jauh dari Allah swt. Mereka mencintai dan menyukai materi yang diyakininya dapat mengisi hasrat cinta mereka lalu mereka mengejarnya terus menerus. Ternyata hasrat cinta mereka tidak pernah terpenuhi ibarat orang haus yang meminum air laut demi menghilangkan rasa dahaganya.

Sesungguhnya hati manusia akan senang dan bahagia ketika hatinya telah terpenuhi dengan cinta kepada Allah swt. Lebih dari itu, dia akan terpesona dengan keindahan Sang Pemilik keindahan yang mutlak dan kesempurnaan Sang Pemilik kesempurnaan yang mutlak. “ Dan orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah “. (QS 2; 165)

Rasulullah saww. bersabda,

“ Cintailah Allah dengan sepenuh hati kalian “. (Mîzân al Hikmah 2/213)

Orang yang mengutamakan cinta pada Allah atas cinta pada dirinya, maka Allah akan mencukupinya dari bantuan orang lain “. (Mîzân al Hikmah 2/213)

Dalam sebuah doa Arafahnya, Imam al Husain as. mengatakan,

Engkaulah yang telah menyingkirkan semua selainMu dari hati para kekasihMu sehingga mereka tidak mencintai selainMu “.

Imam Ja’far al Shadiq as. berkata, “

Hati adalah tempat kemuliaan Allah, maka janganlah kamu tempati pada tempat kemuliaan Allah itu selain Allah “. ( Mîzân al Hikmah 2/213)

“ Jika seorang yang beriman berlepas dari (cinta) dunia, maka dia menjadi tinggi dan akan merasakan manisnya kecintaan kepada Allah. Di tengah para pecinta dunia, dia dianggap gila. Padahal mereka lah yang gila karena tdak merasakan manisnya kecintaan kepada Allah sehingga mereka tidak sibuk kecuali dengan urusan dunia “. (Mîzân al Hikmah 2/216)

Belau juga berkata,

Hati orang yang beriman adalah ‘arsynya Allah “.

Dalam doanya, Imam Ali Zain al Abidin as. mengatakan,

Ya Allah, aku memohon kepadaMu agar kiranya Engkau memenuhi hatiku dengan cinta padaMu, takut dariMu, kepercayaan padaMu, keyakinan terhadapMu, kekhawatiran dariMu dan kerinduan padaMu “. (Mîzân al Hikmah 2/214)

Bayazid Bustami sering mengatakan: “ Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit ”.

Beliau ingin menyatakan bahwa ciri mencintai Allah swt itu adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah dibuktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”.

Kemudian ciri yang lain dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan oleh Allah swt. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.

Nabi Ibrahim as. adalah contoh yang baik dalam masalah cinta kepada Allah swt. “ Sesungguhnya telah ada untuk kalian teladan yang baik pada pribadi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya “. ( QS 60:4).  Hati beliau telah dipenuhi cinta kepada Allah swt. sehingga selainNya tidak mempunyai tempat di hatinya. Beliau meninggalkan keluarganya dan bahkan siap menyembelih putranya sema-mata karena kecintaannya kepada Allah swt.

Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung, “Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka “ (QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi dalam matsnawi-nya menggambarkan kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari “alastu” sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt., dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru’yah (melihat Allah) merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan “bodoh” dalam terminologi kaum urafa dan mukmin pecinta.

Cinta kepada Allah swt. yang bersih dan murni akan mengesampingkan cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Ibadah yang dilakukan dengan motivasi cinta adalah ibadah orang yang merdeka, bukan ibadah para budak yang beribadah karena takut nerakaNya, atau ibadah orang rakus yang beribadah dengan harapan masuk ke surgaNya.

 

Cinta pada Allah swt. vs Cinta pada Dunia

Pada pembahasan tentang ma’rifatullah dijelaskan bahwa pada diri manusia terdapat dua unsur; ruh Ilahi dan tanah. Ruh Ilahi cenderung pada keindahan, kebaikan dan kebenaran, sedangkan tanah cenderung pada kejelekan dan keburukan. Hati yang tertarik pada Allah dan terpenuhi dengan cinta padaNya tidak akan tertarik lagi pada dunia dan tidak akan mencintainya. Demikian itu karena cinta pada Allah swt. berlawanan dengan cinta pada dunia. Berkenaan dengan masalah ini, Rasulullah saww. bersabda,

Cinta pada dunia dan cinta pada Allah tidak bertemu dalam hati selamanya “. (   Mîzân al Hikmah 2/ 228)

Sering terjadi tarik menarik ada cinta pada dunia dengan cinta pada Allah. Ketika itu,maka hanya satu yang menang karena hati hanya akan diisi oleh satu saja. Allah swt. berfirman, “ Tidaklah Allah jadikan pada seseorang dua hati  dalam rongga badannya “.  Misalnya, Umar bin Sa’ad, panglima pasukan Ubaidillah bin Ziyad, memilih dunia dari pada akhirat setelah ditawarkan padanya kekuasaan atas wilayah Ray yang subur dengan syarat membunuh Imam al Husain as.

Bisa saja seseorang mencintai Allah swt. dan mencinta dunia pada saat yang sama, namun ketika dia harus memilih antara dunia dan akhirat karena tuntutan keduanya bertentangan, maka satu saja yang akan dia ikuti; dunia atau akhirat. Yang dia pilih itu lah yang mendominasi hatinya. Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata,

Bagaimana seorang yang hatinya telah diisi dengan cinta dunia mengaku cinta pada Allah ? “. (Mîzân al Hikmah 2/ 228)

Jika kalian mencintai Allah, maka keluarkanlah dari hati kalian kecintaan pada dunia “. (Mîzân al Hikmah 2/ 228)

Perlu dijelaskan bahwa orang yang mencintai Allah swt. bukan berarti meninggalkan dunia. Hubungan mereka dengan dunia sebatas kebutuhan semata. Secara lahiriah dia berhubungan dengan segala urusan duniawi, tetapi hatinya selalu bersama Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata,

Mereka berhubungan dengan dunia secara fisik saja, sementara ruh mereka berhubungan dengan Tempat yang Paling Tinggi “. ( Nahj al Balaghah 147/ 595)

Orang yang mencintai Allah swt. menyikapi dunia dengan sifat zuhud; sebuah sifat yang apriori terhadap dunia, jika dunia berada di tangannya dia tidak merasa senang dan jika dunia hilang darinya, maka dia tidak bersedih. Sebagaimana firman Allah swt.,

Agar kalian tidak bersedih dengan apa yang hilang dari kalian dan agar kalian tidak merasa senang terhadap apa yang datang kepada kalian “.(QS 57; 23)

Atau sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib as. mendefinisikan zuhud,

Bukanlah zuhud itu kamu tidak memilki dunia, tetapi kamu tidak dimiliki oleh dunia “.

Bukanlah kezuhudan pada dunia itu menyia-nyiakan harta atau mengharamkan yang halal. Kezuhudan pada dunia adalah hendaknya harta yang ada di tanganmu tidak lebih kamu percaya dari apa yang ada pada Allah swt “.

Tidak ada sesuatu yang lebih membahayakan hati orang yang beriman dari banyak makan, karena ia akan menyebabkan dua hal; hati keras dan gejolak syahwat “.

al Qur’an sendiri memerintahkan kita agar saat kita berhubungan dengan dunia, hendaknya kita mencari pahala atau akhirat;

Dan carilah tempat  akhirat pada apa yang Allah berikan pada kamu ( di dunia) “.( QS. 28:77)

Lalu Allah swt. mengingatkan kita agar kita juga tidak mengabaikan kenikmatan dunia,

Dan janganlah kamu lupa jatahmu dari dunia “.( QS. 28:77)

Ayat ini menarik untuk dicermati bahwa pada dasarnya mengejar akhirat dan memerhatikan urusan ruhaniah harus menjadi prioritas, dan dunia hanya sesuatu yang bersifat ikutan atau aksiden. Dalam ayat lain Allah swt. menyatakan,

“ Dan akhirat lebih baik bagimu dari pada dunia “ (QS. 93:4)

“ Dan akhirat lebih baik dan lebih kekal “ (QS.87: 17)

Dalam perspektif Islam yang sesungguhnya, kehidupan di dunia tidak lain hanya tempat berlalu dan tempat persinggahan sementara, yang tidak lebih dari hitungan waktu yang terukur.

Mereka(hanya) mengetahui sisi lahiriah dari kehidupan dunia, dan mereka lengah terhadap akhirat “ (QS. 30:7)

Padahal haqiqat dunia, menurut Qur’an, hanyalah permainan belaka,

Kehidupan dunia tidak lain dari permainan dan kesia-siaan “ (QS. 6:32){ Husein Alkaff}

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *