Memaknai Kisah Asyura dari Tiga Sosok
Syiahindonesia.id – Siapa yang tidak mengetahui sejarah 10 Muharram. Setiap tahun umat muslim, khususnya bermazhab Syiah memperingati hari dimana cucu Rasulullah yang syahid di Karbala, Irak. Jutaan orang berbondong-bondong berziarah ke pusara Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib.
Apa yang mereka yang cari? Dan apa yang mereka lakukan setelah menangis, menepuk dada, berteriak memanggil nama Al Husein, “Yaa Husein” atau “Labbaik Ya Husein”?
Asyura, hari dimana setiap orang yang mengaku pecinta Sayyidina Husein mengenakan pakaian hitam sebagai simbol kedukaan. Dari 1 hingga 10 Muharram, majelis Sayyidina Husein dipenuhi dengan kajian peristiwa di Karbala. Sejarah kembali diceritakan, yang walaupun ada kalangan tertentu berusaha menutupi kisah agung nan abadi itu. Tapi kita tak usah risau, yakini saja bahwa Tuhan selalu menjaga kebenaran.
Banyak makna yang terkandung dalam kisah perjalanan Sayyidina Husein menuju Karbala. Dimana beliau membawa serta seluruh keluarganya menuju medan pertumpahan darah.
Kita akan bertanya, untuk apa Sayyidina Husein membawa serta keluarganya dalam arena pertempuran? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang sangat filosofis. Sehingga, jawabannya dapat mengubur dalam-dalam prasangka yang menganggap kisah di Karbala hanya sekedar kepentingan kekuasaan (politik) semata.
Penulis hanya akan merangkum 3 kisah dari 3 sosok dan 1 makna dari panjangnya kisah Karbala, khususnya di hari 10 Muharram. Dan tentunya, apa yang penulis sampaikan hanya setetes makna dari luas dan dalamnya makna perstiwa Asyura. Seperti kata Ali Syariati, “Karbala bukan hanya fenomena masa lalu yang tragis, akan tetapi Asyura adalah fenomena masa lalu yang transenden dan abadi.”
Pertama, mengenai sosok Abu Fadl Abbas.
Seorang putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, juga adik dari Sayyidina Husein. Ada satu kisah mengenai Abu Fadl Abbas yang sangat menyentuh, saat beliau mengambil air untuk Bani Hasyim. Sesampainya di tepi sungai Eufrat, Fadl Abbas hendak meneguk air. Namun, Fadl Abbas berhenti dan membuang air tersebut dari tangannya dan mengatakan, “Bagaimana mungkin aku meneguk air segar ini sedangkan keluargaku kehausan. Pemimpinku kehausan.” Segeralah Fadl Abbas mengambil wadah untuk mengisi air dan membawanya pada Bani Hasyim, walau akhirnya Fadl Abbas harus syahid sebelum air itu diteguk oleh keluarganya, Bani Hasyim.
Kisah Fadl Abbas merupakan bentuk kepeduliaan. Fadl Abbas seharusnya bisa saja meneguk air itu, agar kelemahan dan dahaganya bisa hilang. Akan tetapi, karena Fadl Abbas tidak menggunakan cara berpikir manusia seperti kita, mementingkan diri dulu, baru mengurusi orang lain.
Kepeduliaan yang dilakoni oleh Fadl Abbas di Karbala adalah cermin kaca untuk kita. Bahwa tidak ada alasan untuk mengurus diri sendiri, jika di hadapan kita ada kebenaran yang disepelekan, ada kebaikan yang hendak dihancurkan dan ada manusia yang ditindas. Fadl Abbas adalah jiwa yang secara utuh menghapus ke-aku-an dalam dirinya.
Fadl Abbas menembus batas kewajaran manusia, hingga kedua tangannya pun putus karena membawa air menuju kemah Bani Hasyim. Itulah Fadl Abbas, sosok yang memberikan dirinya pada pemimpinnya, Sayyidina Husein. Ibarat seorang kekasih bersaksi saat Tuhan bertanya, “Bukankah Aku Tuhanmu?” Dan Kekasih menjawab, “Benar, kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf: 172). Begitulah Fadl Abbas pada Sayyidina Husein yang telah bersumpah menyerahkan seluruh dirinya dan menjadi saksi di Karbala.
Kedua, terpanahnya Ali Asghar, putra Sayyidina Husein.
Sesosok bayi mungil yang merintih kehausan. Dalam 3 hari, tak sekalipun meneguk setetes air. Saat Sayyidah Zaynab memberi tahu keadaan Ali Asghar pada Sayyidina Husein, segeralah Sayyidina Husein membawa Ali Asghar di hadapan barisan musuh dan mengangkatnya tinggi-tinggi, agar terlihat lebih jelas oleh musuh lalu berkata, “Inilah putraku, bayiku yang 3 hari telah kehausan, berilah seteguk air untuknya.” Namun, tiba-tiba anak panah malah menancap di leher bayi mungil itu. Darah suci mengucur tepat di wajah Sayyidina Husein. Terbebaslah Ali Asghar dari kejamnya dunia, hilanglah dahaganya dan meneguk air keabadian Ilahi.
Kisah Ali Asghar sebagai “persembahan” pada Tuhan. Persembahan Sayyidina Husein pada Tuhan begitu mengerikan, jika kita mengikuti alur cerita Karbala. Hingga bayi mungil pun harus dipersembahkan sebagai bukti yang tak bisa dibantah dengan dalil apapun bahwa tragedi Karbala bukan tentang kekuasaan. Ini adalah jalan untuk bertemu Tuhan. Seperti kata Ali Khamenei, “Jika orang-orang pergi ke ka’bah (Haji) untuk mencari Tuhan, maka Sayyidina Husein menuju Karbala untuk bertemu Tuhan.”
Syahidnya Ali Asghar adalah kepasrahan penuh Sayyidina Husein hingga rela meminta air pada musuh. Itu merupakan sebuah persembahan agung untuk Tuhan, memberikan semua yang dimiliki demi tegaknya sebuah hukum Ilahi. Bukankah Nabi Ibrahim rela menyembelih putranya Ismail demi sebuah persembahan pada Tuhan? Sayyidina Husein pun rela memberikan semuanya untuk Tuhan.
Ketiga, bergabungnya Al-Hurr di barisan Sayyidina Husein.
Sebelumnya, Al-Hurr adalah komandan salah satu barisan khusus musuh untuk menggiring karavan Sayyidina Husein menuju Karbala dan memboikot sungai Eufrat untuk kelompok Sayyidina Husein.
Setiap harinya Sayyidina Husein selau menyampaikan pada musuh bahwa dirinya tidak datang untuk berperang demi sebuah kekuasaan politik, tapi beliau datang menuntut hukum Tuhan yang dimatikan, yaitu pesan kakeknya yang dikhianati. Saat beliau berteriak pada barisan musuh, “Adakah seseorang yang akan menolongku?” Saat itulah, jiwa Al-Hurr tergetar. Panggilan Sayyidina Husein adalah air sejuk yang memadamkan api dalam hati Al-Hurr.
Al-Hurr bersama puteranya keluar dari barisan menuju barisan Sayyidina Husein. Dan berkata penuh tangis pada Sayyidina Husein, “Aku adalah orang yang sangat berdosa padamu dan Kakekmu, aku adalah orang yang memerintahkan untuk menggiringmu ke padang pasir ini, aku adalah orang yang memerintahkan untuk memboikot sungai Eufrat untuk pengikutmu, akankah tobatku akan diterima oleh Tuhan?” Sayyidina Husein menjawab, “Kau akan diampuni oleh Tuhan, berbahagialah kau yang telah mendapatkan cahanyaNya.”
Al-Hurr pun memerintahkan putranya untuk maju menerjang musuh Sayyidina Husein, lalu syahidlah putranya. Kemudian, Al-Hurr maju ke barisan musuh, dia pun syahid. Sayyidina Husein datang memeluk Al-Hurr dan berkata, “Sungguh beruntung seorang wanita yang melahirkanmu dan memberimu nama Al-Hurr (kemerdekaan), kau telah merdeka.”
Kisah Al-Hurr menunjukkan proses seorang manusia menuju cahaya. Tobatnya seorang manusia yang bernama Al-Hurr. Perjalanan yang memilik akhir begitu manis. Hijrahnya jiwa yang gelap menuju tempat yang terang. Itulah Al-Hurr yang memilih syahid, padahal jauh sebelum itu dia adalah musuh yang sangat berperan besar atas penderitaan Sayyidina Husein dan pengikutnya.
Seperti sebuah kisah seorang pelacur yang wafatnya khusnul khotimah, karena memberikan minum pada anjing di tengah sahara. Begitupun Al-Hurr, teriakan Sayyidina Husein, “Hal minnasirin yan surunii? (Adakah seseorang dari kalian yang dapat menolongku?)” mampu menyalakan cahaya dalam hatinya, membuka mata dan melihat betapa indahnya membela kebenaran.
Tobat yang ditampilkan oleh Al-Hurr memberikan makna tersendiri bagi penulis. Al-Hurr memberikan semuanya pada Al-husein, karena memang, tobat adalah pengakuan hamba dan menanamkan dalam-dalam pada jiwa bahwa semua yang ada hanyalah untuk Tuhan. Begitupun Al-Hurr pada Sayyidina Husein, tobat yang ditampilkan begitu sempurna, di detik-detik akhir kisah Karbala. Melangkahlah Al-Hurr menuju ruang yang bercahaya, walau kematian yang tragis adalah akhirnya.
Al-Hurr tak memikirkan resiko tentang kematiannya nanti, dia hanya memikirkan apakah tobatnya akan diterima atau tidak? Oleh karena itu, Al-Hurr memberikan semua atau “menelanjangi diri” di hadapan Tuhan, agar semua persembahannya atas nama Sayyidina Husein diterima olehNya.
Benar, surga dan neraka di Karbala hanya selangkah saja, tetapi terdapat ribuan penderitaan di sana. Itu hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia, seperti Sayyidina Husein, Fadl Abbas dan Al-hurr saja. Karena seperti yang penulis kemukakan di awal, kisah Karbala adalah sebuah kisah transenden (di luar kesanggupan manusia biasa).
Kisah Al-Hurr menjadi tamparan bagi kita yang selalu mengukur keimanannya pada orang lain. Menganggap keyakinan orang lain salah dan sesat, menghukumi neraka bagi yang berbeda dengannya.
Jangan pernah menjadi orang yang angkuh, karena ibadahmu yang rutin. Karena Tuhan tidak melihat ibadahmu sebagai gerakan, tapi seberapa dalam makna yang diperoleh dari gerakan ibadah itu.
Dari kisah di atas, penulis mungkin belum bisa memaknai secara baik dan utuh. Tapi, ini hanya sentilan kerdil untuk kita memahami Asyura sebagai kisah masa lalu yang menerobos masa depan. Sebagi epos sejarah yang selalu abadi, karena di dalamnya tersimpan ribuan makna Ilahi.
Kepeduliaan Fadl Abbas, persembahan Sayyidina Husein atas nama Ali Asghar dan tobatnya Al-Hurr merupakan 3 prasasti keabadian yang harus diraih oleh manusia. Yang pada akhirnya, 3 kisah dari 3 sosok dan 1 makna adalah tentang cinta, tentang Ketuhanan. Dan Tuhanlah Yang Maha Mengetahui.
“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyeru manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 21).