Makna Coba’an Menurut Imam Khomeini

Syiahindonesia.id – Ketahuilah bahwa jiwa manusia berada pada tingkat potensialitasnya sejak awal mulanya. sejak awal keterikatannya dengan badannya, dan penurunannya ke alam fisik (mulk), dalam hubungannya dengan segala sesuatu termasuk pengetahuan, sifat-sifat baik dan buruk serta segala macam fakultas pemahaman dan perilaku. Secara bertahap, ia bergerak dari potensialitas ke aktualitas dengan rahmat Allah Yang Mahakuasa dan Mahamulia. Pada awalnya, kesan yang lemah yang berkaitan dengan hal-hal partikular (sebagai lawan dari universal) muncul dalam jiwa, seperti kesan sentuhan dan indera luar lainnya. bergerak dari rendah ke tinggi. Berikutnya, persepsi batiniah muncul pula padanya. Tetapi, semua fakultas itu hanya berada pada tingkat potensialitas, dan tak dapat tumbuh tanpa rangsangan yang cukup. Misalnya, bila sejenis fakultas rendah mendominasinya, ia cenderung pada keburukan dan kejahatan, karena kekuatannya dalamnya seperti Syahwah (syahwat), ghadhah (kemarahan), dan lain-lain mendorongnya Kepada dosa, Kebobrokan, agresi, dan tirani. Setelah berjalan selama beberapa waktu, ia berkembang menjadi monster yang asing dan iblis yang sangat aneh.

Namun, karena Kasih sarang dan rahmat Allah Swt. mengiringi anak Adam sejak azali, Dia menganugerahi mereka dua guru dan pendidikan yang mirip dua sayap untuk terbang dari jurang kebodohan, kerusakan, keburukan, kejelekan menuju ketinggian pengetahuan, kesempurnaan, keindahan, kebahagiaan, dan mengantarkan diri mereka ke lembah alam yang sempit untuk mencapai cakrawala alam ruh (malakut) yang luas dan terbuka. Yang pertama adalah fakultas intelek manusia itu sendiri tidak dapat mengenali jalan kebahagian dan keburukan, maupun menemukan jalan menuju dunia yang tersembunyi dan dunia kemaujudan ukhrawi. Demikian pula, bimbingan fakultas intelek yang tajam.

Maka Tuhan memberi manusia dua guru ini untuk merealisasi dan mengaktualisasi seluruh potensialitas serta Kapasitas dan fakultas yang tersembunyi, yang laten dalam jiwa manusia. Allah Swt. menganugerahi dua anugerah besar ini untuk menguji dan mencoba manusia, karena Kedua anugerah inilah yang memisahkan manusia menjadi yang bahagia, dan yang sengsara, yang taat dan yang membangkang, yang sempurna dan yang tak sempurna. Dan demikianlah merujuk kepada hal-hal di atas Wali Allah yang agung berkata.

“Demi Allah Yang mengutus Nabi Saww. dengan kebenaran, kamu benar-benar akan dicampurbaurkan dan kemudian dipisahkan dalam saringan (ujian dan penderitaan Tuhan).”

Di dalam kitab AI-Kafi, dalam bab tentang ujian dan penderitaat (bab al-tambish wa al-imtihan), lbn Abi Ya’fur meriwayatkan bahwa Imam ash-Shadiq as. pernah berkata, “Tak dapat dihindari bahwa umat manusia mesti dibersihkan, dipisahkan dan disaring sehingga sejumlah besar dikeluarkan dari saringan itu.”

AI-Kulayni juga meriwayatkan hadis berikut ini dengan isnadnya dari Manshur:

Imam ash-Shadiq as. berkata, “Hai Manshur! Sungguh masalah ini (yakni munculnya al-Mahdi as.) tak akan datang kepadamu kecuali setelah adanya keputusasaan, dan demi Allah, tak akan datang kepadamu sampai engkau disisihkan, dan demi Allah, sampai engkau disucikan dan demi Allah, sampai orang yang sengsara memperoleh kesengsaraannya dan orang yang bahagia memperoleh kebahagiaannya”.

Dalam hadis lain, Abu al-Hasan as. diriwayatkan berkata,

“Engkau akan disepuh seperti disepuhnya emas.”

Dalam AI-Kafi, Bab al-lbtila wa al-lkhtibar, hadis berikut ini diriwayatkan dengan isnad dari Imam ash-Shadiq as.

Beliau berkata: “Tidak ada qabdh (kesempitan) dan batsh (kelonggaran) kecuali di situ ada maksud Tuhan, titah, dan cobaan Tuhan.”

Dalam hadis lain diriwayatkan beliau berkata:

“Sungguh tak ada kesempitan dan kelonggaran yang diperintahkan dan dilarang Allah kecuali disitu ada penderitaan dan ujian dari-Nya.”

Qabdh berarti imsak (penahanan), man’ (pencegahan, halangan) dan akhdz (penyitaan). Basth adalah nasyr (pembeberan, penyebaran, pengeluaran), ‘atha’ (pemberian, anugerah). Karenanya, setiap pemberian, kelonggaran dan gangguan, dan setiap perintah, larangan dan tugas adalah dimaksudkan sebagai cobaan.

Dengan demikian, kita tahu bahwa diutusnya para nabi pewahyuan Kitab samawi semuanya dimaksudkan untuk memisahkan manusia, untuk memisahkan antara yang celaka dan yang bahagia, antara yang taat dan pendosa.

Dan makna cobaan dan ujian Tuhan adalah pemisahan ini sendiri, bukan pengetahuan tentang keterpisahan itu, karena pengetahuan Allah Swt. Bersifat azali, yakni meliputi segala sesuatu, sebelum semuanya itu diciptakan. Para hukama’ telah membahas secara panjang lebar hakikat penderitaan dan ibtila’ adalah di luar lingkup tulisan ini untuk menyebutkan pendapat-pendapat mereka.

Hasil dari cobaan dan ujian ini adalah pemisahan antara orang yang beruntung dari orang-orang yang celaka. Selama berlangsungnya cobaan itulah hujjah Allah dikukuhkan terhadap semua makhluk. Lalu, kehidupan mereka, kebahagian dan keselamatan mereka, atau kesusahan dan kecelakaan mereka terjadi setelah kukuhnya hujjah dan kesaksian (bayyinah), dan tak ada ruang untuk penolakan bagi siapa pun. Kebahagiaan dan kehidupan ukhrawi seseorang diperoleh melalui pertolongan dan bimbingan Tuhan, karena Tuhan telah menganugerahkan semua alat untuk memperolehnya. Juga, seseorang yang memperoleh keburukan dan jatuh ke dalam kerusakan, mengikuti setan dan nafsunya; semuanya itu juga diperoleh kehendak bebasnya sendiri, karena dia tetap berbuat demikian meskipun telah ada semua sarana menuju petunjuk dan kebahagiaan. Hujjah akhir Allah telah dikukuhkan terhadap dan tak ada ruang untuk dalih apa pun. Karenanya AI-Quran berkata:

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya don ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah, 2: 286)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *