Konsep Penantian Untuk Al-Mahdi

Konsep Penantian  Untuk Al-Mahdi

Syiahindonesia.id – Mengapa manusia selalu mencari pahlawan dan merindukan kepahlawanan? Para sarjana psikologi telah melakukan kajian dan analisis, seperti tertuang dalam teori Adler. Teori Adler mengatakan, “Sesungguhnya manusia ini selalu berjalan terus menerus di belakang seorang pahlawan, memuji dan mengumandangkan hymne, sebab mereka selalu merindukan kebesaran dan keperkasaan, serta memastikan diri mereka sebagai manusia-manusia yang serba kurang. Mereka menutupi perasaan lemah tersebut dengan puji-pujian, menghamba kepada para pahlawan yang ada di sepanjang sejarah yang memperlihatkan kebesaran dan keperkasaannya. Berdasarkan hal ini, maka puji-pujian kepada para pahlawan dan upaya mencari seorang pahlawan yang terus menerus mereka lakukan untuk kemudian dipuja dan disembah, yang terdapat dalam ajaran berbagai aliran keagamaan adalah muncul dari kesadaran manusia terhadap kelemahan dirinya.” Lebih dari itu, manusia terus menerus berharap bisa memperoleh keindahan dan cinta, serta memuja keagungan yang mutlak dan gaib. Usaha ini telah mengantarkan manusia untuk menutupi kekurangannya dengan memuji, bermakrifat dan bertawakkal kepada maujud-maujud sakral tadi, atau melakukan peralihan dari kehidupan yang tidak suci, serba kurang dan rendah, menuju kehidupan yang bersifat metafisis dan sempurna, yang dengan itu ketinggian bisa dicapai.

Berkenaan dengan hal ini, agaknya konsep Islam tentang al-Mahdi, menjadi sesuatu yang mesti dan niscaya, meskipun oleh masing-masing mazhab pemikiran agamis dan ideologis terdapat pandangan yang berbeda. Kaum intelektual misalnya mengatakan, bahwa kepercayaan kepada Imam Mahdi dan Konsep Penantian – dari sudut pandang saintifik – tidak masuk akal, tidak logis dan bertentangan dengan kemajuan dan tanggung jawab manusia. Sementara kaum agamis, tidak meragukan ajaran agama, prinsip dan ritual-ritualnya, sehingga perlu untuk menganalisis, menjelaskan dan mempertahankannya serta menyangkal keberatan-keberatan dan juga berbagai pandangan kritis bahkan yang skeptis. Mereka percaya bahwa Sang Juru Selamat akan muncul ketika kerusakan dan kelaliman telah melanda dunia, yang akan mengangkat senjata dan mengadakan perlawanan terhadap para penindas, para pembunuh di Karbala, para khalifah kriminal dan penipu, pemerintahan Sufyanis dan para ulama serta pemimpin agama, baik Sunni maupun Syiah dan mazhab-mazhab lainnya yang telah memutarbalikkan agama untuk melayani berbagai kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Akan ada suatu kedamaian universal dan bahkan tidak akan ada lagi kebutuhan terhadap materi, dan akan diganti dengan slogan, “Semoga salam tercurah atas Muhammad dan Keturunannya.” Tulisan ini sendiri tidak ingin membahas perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, tetapi lebih banyak mencoba menelaah tentang konsep penantian terhadap al-Mahdi.

Dua Macam Penantian : Penantian Negatif dan Positif

Secara umum, prinsip penantian ada dua jenis : negatif dan positif, dan keduanya saling bertentangan. Yang satu adalah penyebab kerusakan, sedangkan yang lainnya adalah penyebab pergerakan dan martabat. Yang satu ketundukan pada kehinaan dan suatu pembenaran bagi status quo, sedangkan yang lain progresif dan berorientasi ke masa depan.

Tentang hal ini Ali Syariati menguraikannya lebih rinci.

Pertama, Penantian adalah suatu prinsip sosio-intelektual dan naluriah manusia, dalam pengertian bahwa manusia secara mendasar adalah makhluk yang menanti, dan semakin manusiawi seseorang semakin ia menanti.

Kedua, Penantian adalah sintesis dari dua prinsip yang bertentangan yaitu kebenaran dan kenyataan. Kita dapat melihat bagaimana realitas objektif bertentangan dengan kebenaran yang kita yakini dalam Islam. Karenanya, “penantian” merupakan sebuah pukulan terhadap realitas-realitas yang sampai sekarang mendominasi dunia, sejarah dan Islam.

Ketiga, Menanti adalah ketentuan sejarah. Bahwa sejarah sedang bergerak menuju kemenangan keadilan yang tak dapat dihindari, pembebasan kaum mustadhafin serta penghapusan kelaliman dan ketidakadilan. Determinisme historis, yang adalah dasar filsafat saintifik abad ke-18 dan pendekatan historis yang paling penting diantara intelektual dunia non-Muslim, ada juga dalam aliran pemikiran ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, Penantian menghasilkan kelanjutan sejarah. Dengan menanti membuat manusia berpandangan jauh dan berorientasi ke masa depan.

Lalu muncul pertanyaan. Siapakah sesungguhnya yang harus dinantikan kehadirannya? Bagi umat Islam penantian tersebut adalah diarahkan kepada hadirnya seorang Pemimpin (Imam) yang akan mengantarkan manusia menuju kesempurnaan. Dialah Imam Mahdi yang diyakini saat ini tengah berada dalam periode kegaiban (okultasi). Bagaimana bisa menjadi pemimpin sementara dia dalam keadaan gaib? Al-Quran menjelaskan kepada kita ada dua bentuk pemimpin umat:

Pertama, pemimpin yang berada di tengah-tengah umatnya, dikenal dan dipatuhi.

Kedua, pemimpin yang tersembunyi atau gaib, sebagaimana kisah Al-Quran tentang teman perjalanan Nabi Musa as. “Lalu mereka berdua (Musa dan budaknya) mendapatkan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami anugrahi rahmat Kami dan ajarkan padanya suatu ilmu. Musa berkata kepadanya : “Bolehkah aku ikut denganmu dan engkau mengajariku suatu petunjuk yang telah diajarkan padamu.” (QS. Al-Kahfi, 18:65-82)

Dengan demikian, seorang pemimpin tidak harus berada ditengah-tengah umatnya. Ia boleh saja tidak tampak atau menyembunyikan diri, jika kemaslahatan menuntut hal demikian. Akan tetapi ketersembunyiannya itu tidak lantas berarti bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk umatnya. Imam Mahdi bukan orang pertama yang gaib. Nabi Musa pernah menghilang dari kaumnya selama empat puluh hari (QS. Al-A’raf, 7:142), Nabi Yunus juga pernah menghilang dalam apa yang disebut az-zulumat, kegelapan (QS. Al-Anbiya, 21:87-88). Jelasnya, seorang yang gaib dapat saja berbuat sesuatu dan memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Adapun ketidaktahuan kita akan apa yang diperbuatnya dan manfaatnya bagi kita, sama sekali tidak menunjukkan ketiadaan sesuatu itu. Betapa banyak rahasia syariat dan rahasia alam yang belum kita ketahui, tapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa hal itu tidak berguna. Alam semesta ini diciptakan Allah tidak dengan sia-sia, hanya saja kita belum banyak mengetahui rahasia-rahasia yang ada dibaliknya. Tapi kita mesti mempercayainya, sebab ia datang dari Zat Yang Maha Suci dan tidak pernah ingkar. Demikian pula mengenai kegaiban Imam Mahdi.

Keyakinan tentang bakal munculnya al-Mahdi di akhir zaman merupakan aqidah Islamiyah yang tak terbantahkan. Terdapat puluhan, jika tidak ratusan, hadis-hadis Nabi SAW yang menegaskan adanya Imam Mahdi ini. Hadis-hadis tersebut bukan monopoli Syiah saja, sehingga dikatakan bahwa keyakinan tentang Imam Mahdi adalah ciptaan orang-orang Syiah karena penderitaan berat yang mereka alami dibawah kekuasaan Bani Umayyah dan Abbasiah. Buku-buku hadis Ahlussunnah, baik yang utama seperti al-Kutubus Sittah maupun buku-buku hadis lainnya, seperti Musnad Ahmad Ibn Hanbal, malah penuh dengan riwayat-riwayat tentang Imam Mahdi dari keluarga Fatimah binti Rasulillah SAW ini. Berikut sebagian hadis-hadis tentang Imam Mahdi dari kitab-kitab Ahlussunnah.

Abu Daud meriwayatkan dari Jabir Ibn Samurah yang berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Agama ini akan terus jaya sampai dengan dua belas Khalifah (Imam). Semuanya disepakati oleh umat. Dan aku mendengar dari Nabi SAW berbicara sesuatu, tapi tidak begitu jelas bagiku. Kutanyakan kepada ayahku : “Apa yang diucapkan Rasulullah? Ayahku berkata; semuanya dari Quraisy.”(Sunan Abu Daud). Al-Qanduzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Para Imam sesudahku ada dua belas. Engkau wahai Ali yang pertama, sedangkan yang terakhir adalah al-Qaim (Imam Mahdi), yang melaluinya Allah memberikan kemenangan besar bagi kaum muslimin dan menguasai timur dan barat.”

Abu Daud juga meriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW : “Jika umur alam semesta ini tinggal sehari saja, Allah tetap akan mengutus seseorang dari keluargaku yang memenuhi alam ini dengan keadilan sebagaimana ia pernah dipenuhi oleh kezaliman.” (Sunan Abu Daud).

Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Al-Mahdi berasal dari kami Ahlul Bait. Al-Mahdi dari keturunan Fatimah.” (Sunan Ibn Majah).

Turmudzi dalam Shahih-nya meriwayatkan, “Nanti akan berkuasa seorang dari Ahlul Baitku yang namanya sama dengan namaku. Seandainya usia dunia hanya tinggal sehari saja, maka Allah akan memperpanjang hari itu sampai al-Mahdi berkuasa.”

Al-Hafiz Abu Nuaim meriwayatkan dari Huzaifah Ibn al-Yaman bahwasanya pada suatu hari Rasulullah SAW berpidato di hadapan kami. Beliau bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi hingga hari kiamat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Jika tidak tersisa dari umur dunia kecuali satu hari saja, maka Allah akan perpanjang hari itu sampai Dia mengutus seseorang dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku. Salman berdiri dan berkata : “Dari keturunanmu yang mana wahai utusan Allah? Rasulullah berkata sambil menepuk Al-Husain, “Dari keturunanku yang ini.” (‘Iqd al-Durar).

Selain pada kitab-kitab tersebut, hadis tentang bakal datangnya al-Mahdi pada akhir zaman juga terdapat pada kitab-kitab lain seperti, Ibn Hajar dalam al-Shawaiq al-Muhriqah-nya, Nurul Abshar, Is’af al-Raghibin, Yanabi’ al-Mawaddah, Musnad Ibn Hanbal dan Faraid al-Simtain.

Ajaran Mahdiisme, meskipun lebih akrab dengan kaum Syiah, namun hampir menjadi bagian integral dari Sunnisme Populer. Karenanya berulangkali terjadi gerakan Mahdi dan Mahdiisme sepanjang dunia Islam pada semua periode sejarah Muslim. Ibnu Khaldun malah meyakini bahwa semua Muslim percaya akan Mahdiisme, “Telah terkenal dan umumnya diterima oleh semua Muslim pada setiap masa, bahwa pada akhir zaman seseorang dari keluarga Nabi pasti muncul, tidak bisa tidak. Orang yang akan memperkuat agama dan memenangkan keadilan.” A.Ezzati dalam “The Revolutionary Islam” menyebutkan bahwa Ali Syariati dan Mehdi Bazargan adalah dua pemimpin terkemuka yang menggunakan ajaran Mahdiisme untuk mendorong masyarakat dalam perjuangan mereka bagi Revolusi Islam. Mahdiisme dalam wacana komunitas Muslim sesungguhnya merupakan sebuah tradisi dari pergerakan Islam disamping syahadah. Dengan kata lain, Mahdiisme dan Syahadah merupakan tradisi “militansi” kaum muslimin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

Berbicara tentang masa depan memang adalah sesuatu yang mesti dipersiapkan. Begitu juga dengan penantian terhadap Imam Mahdi juga harus dipersiapkan. Al-Quran telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa memberikan perhatian dalam menyongsong hari depan, “Hai orang-orang ber-Iman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu memperhatikan apa yang telah engkau persiapkan untuk masa depanmu. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan .” (QS. Al-Hasyr, 59:18).

Karena itu, penantian yang kita persiapkan bukanlah sebuah penantian yang bersifat pasif dan hanya berpangku tangan, melainkan penantian dalam bentuk yang aktif dan progresif. Dan bahwa apapun yang kita lakukan sekarang ini adalah suatu proses yang hidup dan dinamis dengan suatu tujuan, menuju kesempurnaan. Kita berasal dari Zat Yang Maha Sempurna dan akan bergerak secara sempurna pula kembali menuju Dia, melalui bimbingan seorang yang senantiasa dinantikan kehadirannya dalam menyempurnakan kualitas umat manusia secara keseluruhan. Thomas Carlyle memilih salah satu tokoh dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship and The Heroic in History itu adalah Nabi Umat Islam, Nabi Muhammad SAW yang didampingi oleh Ali, dan ia mengatakan, “Perjalanan sejarah umat manusia telah berubah dalam sekejap melalui kombinasi tangan kecil dengan tangan besar sesaat setelah diproklamasikannya kenabian dan pembai’atan pemuda Ali.” Dan dari keturunan Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib lah kita akan menyambut Sang Manusia Sempurna. Allahumma ‘ajjil farajahus-syarif.

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka,Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,Walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya.”

(QS. At-Taubah, 9:32)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *