Konsep Negara dalam Perspektif Imam Ali As

 

Syiahindonesia.id – Keharusan hidup bersosial dan keinginan untuk menang sendiri mendorong manusia untuk saling bertikai dan bertengkar. Untuk menyudahi pertikaian-pertikaian tak berguna ini, diperlukan sebuah undang-undang dan badan yang menjalankan undang-undang ini.

Di sepanjang sejarah, dengan memahami kebutuhan tersebut di atas, umat manusia berusaha menetapkan undang-undang yang sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang mereka hadapi. Di samping itu, mereka juga menetapkan berlandaskan pada akal komunal yang dimiliki sebuah lembaga yang dapat menjalankan undang-undang tersebut dengan benar. Lembaga ini, bergantung kepada kondisi ruang dan waktu, beraneka ragam. Mulai dari kepala kampung hingga kepala kabilah. Dan akhirnya, terbentuklah sebuah lembaga yang lebih besar dan lebih komunal bernama negara.

Faktor terpenting yang mendorong pembentukan negara adalah menjalankan undang-undang guna mewujudkan ketertiban di tengah masyarakat manusia. Hal ini lantaran satu malah. Yakni seandainya undang-undang yang ditetapkan pun sangat maju dan bahkan bersumber dari kitab-kitab langit sekalipun tetapi tidak memiliki badan mumpuni untuk menjalankannya, maka undang-undang ini pun tidak akan berguna untuk menciptakan ketertiban di tengah masyarakat.

Dengan demikian, kebutuhan terhadap negara dalam sebuah tatanan masyarakat manusia termasuk kebutuhan yang sangat fundamental, karena ketiadaan lembaga ini akan menyebabkan kekacauan di tangan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, hidup ini bagi semua anggota masyarakat akan menjadi negara.

Melihat urgensi kebutuhan ini, Imam Amirul Mukminin Ali as dalam sebuah pernyataan menegaskan, “Masyarakat memerlukan seorang pemimpin, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang bejat. Dalam pemerintahan ini, orang mukmin beramal dan orang kafir juga mengail manfaat … Melalui pemerintahan ini, pajak dikumpulkan, musuh diperangi, seluruh jalan menjadi aman, dan hak orang yang lemah diambil dari orang yang kuat.”

Memang kita harus berusaha keras untuk mewujudkan sebuah negara yang berdiri di atas nilai-nilai Ilahi dan mengejawantahkan seluruh ajaran agama. Tetapi jika hal ini tidak mungkin terlaksana, maka keberadaan seorang pemimpin yang bejat tentu lebih baik daripada ketiadaan sebuah sistem negara, karena ketiadaan sebuah sistem negara akan menyebabkan kezaliman dan kejahatan semakin merajalela. Dengan demikian, seluruh kemampuan dan perkembangan manusia akan sirna.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini:

Pertama, keberadaan sebuah undang-undang untuk kehidupan manusia sangat urgen diperlukan.

Kedua, untuk menjalankan undang-undang tersebut diperlukan sebuah lembaga dan badan resmi bernama negara.

Untuk itu, di sepanjang sejarah manusia, seluruh aliran dan agama, baik yang bersumber dari Tuhan maupun tidak, memiliki satu pesan penting; yakni menciptakan undang-undang. Untuk melaksanakan undang-undang ini, mereka juga mengusulkan sistem pemerintahan kepada masyarakat.

Agama Islam sebagai agama Allah yang terakhir memiliki sistem pengetahuan, nilai, dan undang-undang tinggi yang terjelma dalam al-Quran dan Sunah para manusia maksum as. Tentu saja, guna menjalankan undang-undang ini diperlukan para eksekutor yang adil dan komitmen serta berhubungan dengan sebuah sistem negara yang berkomitmen untuk menjalankan undang-undang tersebut. Hal inilah yang mendorong Rasulullah saw, ketika telah berhasil menancapkan pondasi dakwah di Madinah, untuk membangun pondasi negara di kota suci ini dan membentuk sebuah sistem eksekutif yang sesuai dengan kondisi yang dominan kala itu.

Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, para imam maksum as pun aktif dalam roda pemerintahan masing-masing sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang berlaku kala itu. Contoh paling nyata untuk hal ini adalah pemerintahan Imam Ali as selama lima tahun. Sekalipun harus menghadapi banyak pasang surut, beliau telah berhasil menunjukkan sebuah model pemerintahan Ilahi di muka bumi dan meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi umat manusia.

Sirah Imam Ali bin Abi Thalib as dalam memanajemen negara bisa dijadikan model oleh para pecinta beliau dalam menjalankan negara.

Dalam perspektif maktab Alawi, undang-undang yang ditetapkan oleh Allah adalah lebih sempurna dan lebih konprehensif dibandingkan dengan undang-undang yang ditetapkan oleh manusia sendiri.

Ketika memaparkan filsafat negara Islam, Imam Ali as menegaskan, “Ya Allah! Engkau sendiri tahu bahwa perang kami ini bukanlah untuk memperebutkan kekuasaan dan menumpuk harta dunia. Tetapi kami hanya ingin mengembalikan tanda-tanda agama-Nya ke tempatnya yang sebenarnya dan ingin melakukan perbaikan di muka bumi-Mu sehingga para hamba-Mu yang terzalimi bisa hidup dengan aman dan seluruh undang-undang-Mu yang telah terlupakan bisa dihidupkan kembali.”

Untuk itu, Imam Ali as menjelaskan seluruh tujuan negara Islam dalam surat kepada Malik Asytar dalam empat barometer:

  1. Mengurusi urusan finansial dan ekonomi.
  2. Menangani urusan militer guna membangun kesiapan untuk melawan musuh.
  3. Mempersiapkan lahan sosial dan stabilitas sosial supaya seluruh kemampuan

masyarakat dan nilai-nilai Ilahi-insani bisa berkembang di tengah masyarakat.

  1. Melaksanakan pembangunan dan kemakmuran di segala bidang.
  2. Melihat tujuan-tujuan mulia yang telah dicanangkan di atas, Imam Ali as telah

mencincingkan lengan baju pada lima tahun kekuasaan untuk memperkokoh sistem negara Islam. Akhirnya, beliau pun gugur syahid di jalan ini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *