Keteladanan Imam Hadi As.

Syiahindonesia.id – Para imam maksum as adalah pribadi-pribadi sempurna dan manusia pilihan. Ucapan, perbuatan dan sifat-sifat mereka melukiskan kehidupan suci dan luhur insani. Secara pasti menjalin hubungan dengan figur-figur agung ini dan mengikuti ajaran mereka merupakan satu-satunya jalan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan.

Imam Ali al-Hadi as adalah sosok manusia yang terunggul dalam ilmu, taqwa dan kesempurnaan. Keberadaannya merupakan manifestasi keutamaan dan kemuliaan. Dalam sebuah ucapannya ketika mensifati para imam maksum as, Imam Hadi as berkata: “Mereka adalah tambang rahmat, khazanah ilmu, sendi-sendi kemuliaan, dan pemuka petunjuk dan ketaqwaan.”

Kehidupan Imam Hadi as sarat dengan ilmu, taqwa dan kedekatan dengan Allah Swt. Sejarawan Islam, Ibn Shahr Ashub dalam kitab “Manaqib” menulis: “Imam Ali al-Hadi as merupakan manusia paling sempurna pada masanya, setiap kali ia terdiam, wibawa dan kebesarannya akan tampak, dan setiap kali ia berbicara, maka nilai dan kedudukannya akan lebih menonjol. Tanda keluarga Rasul Saw tampak terang di raut wajahnya, sebab ia adalah dari buah pohon kenabian dan manusia pilihan dari keluarga Rasul Saw.”

Imam Hadi as lahir pada pertengahan Dzulhijjah 212 H di kota Madinah. Sepeninggal ayahnya Imam Jawad as, kepemimpinan umat Islam berada di pundak Imam Hadi as selama 33 tahun. Beliau as hidup sezaman dengan beberapa khalifah dari Dinasti Abbasiyah, salah satunya adalah Mutawakkil. Pada masa itu politik dan pemikiran berada dalam kondisi yang khas. Dari segi politik, kehidupan masyarakat sangat mencekam dan dihantui rasa ketakutan.

Semakin hari, supremasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah semakin memudar. Hal ini dipicu akibat merebaknya korupsi di tengah masyarakat dan ketidaklayakan para penguasa yang berujung pada ketidakpuasan warga. Di sisi lain, menjamurnya pemikiran-pemikiran baru di bidang teologi dan merebaknya pemikiran yang menyesatkan telah menciptakan kebingungan dalam ranah pemikiran dan akidah masyarakat.

Kondisi ini mengancam serius landasan akidah Islam. Bid’ah dan penyimpangan dalam agama semakin merajalela. Imam Hadi as menghadapi situasi itu dengan strategi khas dan kebijakan yang sangat cerdas. Pada awalnya, Imam Hadi as tinggal di kota Madinah yang ketika itu merupakan pusat penting ilmu pengetahuan di dunia Islam. Di kota tersebut, Imam as berkiprah sebagai guru besar. Pada masa kekuasaan khalifah Mutawakkil, Imam Hadi as dipaksa meninggalkan kota Madinah dan pindah ke kota Samarra, Irak, sebab Mutawakkil takut akan pengaruh Imam as di tengah masyarakat. Dengan tindakan itu, Mutawakkil berniat memisahkan Imam Hadi as dari basis massa.

Imam Hadi as melewatkan sepuluh tahun terakhir masa kepemimpinannya atas umat Islam di kota Samarra, pusat pemerintahan Mutawakkil. Akibat pengawasan ketat agen-agen Dinasti Abbasiyah, akhirnya Imam membentuk sebuah jaringan sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat. Jaringan komunikasi ini merupakan jembatan penghubung antara Imam as dan para pengikutnya di berbagai penjuru dunia Islam.

Para tokoh yang ditunjuk sebagai wakil Imam as berperan menyebarkan pandangan-pandangan teologis dan hukum Islam kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga bertugas menyampaikan informasi tentang kondisi umat kepada Imam as. Namun karena situasi politik yang mencekam, para wakil tersebut tidak mudah menjalin komunikasi dengan Imam as. Sebagian bahkan terpaksa menyamar sebagai pedagang keliling untuk dapat mendekati Imam Hadi as.

Di kota Samarra, Imam Hadi as juga mendapat sambutan baik dari masyarakat setempat. Mutawakkil terus berupaya mengurangi popularitas Imam Hadi as di tengah warga. Suatu hari, Khalifah mengundang Imam Hadi as dalam sebuah perjamuan yang dihadiri oleh para pembesar istana dan orang-orang kaya. Mutawakkil meminta Imam as untuk melantunkan bait-bait syair. Awalnya, Imam Hadi as menolak permintaan itu, namun Mutawakkil tetap bersikeras.

Menyaksikan suasana perjamuan dan para undangan yang hadir, akhirnya Imam Hadi as melantunkan bait-bait syair yang penuh muatan-muatan pelajaran sekaligus peringatan terhadap nasib para penguasa zalim. Dalam syairnya Imam Hadi as berkata: “Puncak-puncak yang tinggi telah mereka pilih sebagai tempat tinggal dan mereka jadikan pasukan bersenjata untuk menjaga tempat itu. Mereka persiapkan segala sarana keamanan, namun semua strategi ini tidak mampu menyelamatkan mereka dari kematian. Betapa panjang masa yang mereka habiskan untuk membangun istana-istana megah demi melindungi mereka dari peristiwa getir. Tapi saat mendengar pekik kematian, mereka akan meninggalkan istana-istana itu. Betapa banyak istana berubah menjadi gundukan tanah setelah berlalunya masa.”

Ucapan tegas dan penuh hikmah dari Imam as menembus relung-relung jiwa para hadirin di perjamuan itu. Mutawakkil sendiri terperanjat mendengar bait-bait syair yang keluar dari lisan suci Imam Hadi as. Segera khalifah Abbasiyah ini menginstruksikan para pengawalnya untuk mengantarkan Imam Hadi as pulang ke rumahnya.

Para Imam menilai penting kerja keras dan upaya untuk memperoleh rezeki yang halal. Meski demikian, fenomena duniawi termasuk harta dan kekayaan tidak bernilai di mata mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, para Imam maksum as memanfaatkan sesuatu sesuai kebutuhan dan sisanya diberikan kepada orang-orang yang memerlukan dan kaum fakir. Gaya hidup seperti ini juga terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari Imam Hadi as.

Bantuan finansial Imam Hadi as berperan penting dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesengsaraan hidup di tengah masyarakat. Kedermawanan Imam as telah memberi harapan kepada masyarakat. Sejarah menyebutkan bahwa rumah Imam Hadi as menjadi tumpuan harap dan tempat bernaung orang-orang miskin dan papa.

Kesantunan dan kesabaran merupakan ciri penting para kesatria sejati khususnya para kekasih Allah. Imam Hadi as selalu bersikap sabar dalam menghadapi berbagai kesulitan dan problema hidup. Dalam sejarah dikisahkan bahwa sebelum Imam Hadi as diasingkan ke kota Samarra, seorang yang bernama Buraihah gencar mencela dan menghina beliau di depan Khalifah Mutawakkil. Dalam suratnya kepada khalifah, Buraihah menulis: “Jika yang mulia menginginkan kota Mekkah dan Madinah, maka singkirkanlah Ali bin Muhammad Al-Hadi dari kedua kota itu, sebab ia menarik masyarakat ke arahnya dan sebagian besar masyarakat kini menjadi pengikutnya.”

Karena termakan omongan dan hasutan Buraihah, akhirnya Mutawakkil mengasingkan Imam Hadi as ke kota Samarra, Irak. Buraihah yang menyertai rombongan Imam Hadi as, di tengah perjalanan, berkata kepada Imam as, “Engkau tahu bahwa aku berperan dominan dalam pengasinganmu, dan jika engkau mengadukanku kepada Mutawakkil, maka aku akan membakar seluruh kekayaanmu di Madinah dan membunuh para pengikutmu.”

Seketika itu, Imam Hadi as menatap Buraihah dengan penuh makna dan berkata kepadanya: “Semalam aku telah membawa berkas pengaduanku ke sisi Allah Swt. Ini merupakan jalan termudah untuk mengadukanmu.” Buraihah guncang dan gemetar mendengar ucapan ini. Dia menunduk di kaki Imam as dan meminta maaf. Melihat itu, Imam Hadi as dengan segala kebesaran dan kemuliaannya memaafkan kesalahan Buraihah.

Imam Hadi as berkata: “Rasa dengki akan menghancurkan kebaikan dan menciptakan kebohongan dan permusuhan. Sikap egois akan menghalangi pencarian ilmu, dan kekikiran adalah seburuk-buruknya sifat.” Imam Hadi as mengajak umat untuk selalu menjaga kebersihan dan keindahan. Beliau as berkata: “Allah Swt menyukai keindahan dan tidak menerima kejelekan bagi seorang mukmin. Allah Swt senang menyaksikan kesan karunia-Nya kepada hamba-Nya.” Ketika Imam Hadi as ditanya, bagaimana caranya orang bisa menampakkan kesan kenikmatan Allah?, Imam as menjawab: “Menjaga kebersihan pakaiannya, memakai wewangian dan membangun rumahnya dengan baik.

Sumber: http://www.erfan.ir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *