Kepribadian dan Akhlak dari Ruhulllah Imam Khomeini

Syiahindonesia.id – Sekarang, orang mengenang Ayatullah Khomeini sebagai pemimpin sebuah revolusi paling spektakuler di abad kedua puluh, yang hidup sebagai zahid (asket) sejati. Orang-orang dekatnya mengenang sang Ayatullah sebagai seseorang yang hidup amat sederhana. Rumahnya di suatu desa kecil (Jamaran) di pinggir Teheran begitu kecil dan sederhana sehingga jutaan orang yang belakangan berkunjung ke sana—termasuk ribuan jurnalis—seperti tak dapat mempercayai penglihatan mereka. Seorang ulama dari Indonesia yang berkesempatan memasukinya mengatakan bahwa rumah sang Imam tak ubahnya jedhing—kamar mandi sederhana, dalam bahasa Jawa. Podium tempatnya menerima ratusan demi ratusan rakyat Iran yang mengunjunginya tak lebih dari basement sebuah apartemen, di sana-sini di bagian atapnya berseliweran saluran pembuangan air sistem AC. Di antara wasiatnya, Ayatullah Khomeini menyebutkan daftar harta-benda yang dimilikinya. Dari daftar itu terungkap bahwa satu-satunya milik berharga yang dipunyai sang pemimpin Revolusi adalah rumah-kecilnya di Jamaran yang—secara khusus disebutkannya—berdiri di atas tanah milik istrinya.

Hari-harinya penuh diisi upaya membimbing bangsa Iran menuju hal yang diyakininya sebagai cita-cita Islam. Jika tidak sedang menerima tamu, sang Imam biasanya membaca buku atau berbagai laporan yang masuk kepadanya. Kadang juga menulis. Selebihnya, seluruh hidupnya sejak muda diisinya dengan beribadah kepada Allah, dengan shalat dan mengaji Al-Quran. Pembantu terdekat dan para anggota keluarganya mengatakan bahwa tak ada malam-malam, sejauh ingatan mereka, yang tidak diisinya dengan shalat tah ajud. Bahkan ketika dalam perjalanan pulang ke negerinya dari pengasingan di Prancis, Imam Khomeini melakukan shalat tahajudnya di pesawat terbang. Tak pernah lupa pula ia setiap harinya berolahraga jalan kaki sambil bibirnya berkomat-kamit membaca berbagai doa dan wirid.

Istrinya bercerita bahwa sehari-harinya hingga sebelum datang masa uzurnya, sang Imam berupaya sebisa-bisanya untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Kadang membersihkan rumah, di kali lain mencuci piring dan pakaian kotor. Sang istri pun tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Sebaliknya, ia selalu lemah-lembut, sejak malam pengantin hingga wafatnya. Ia tak ingat pernah disuruh-suruh oleh suaminya. Bahkan, jika sudah membutuhkan sesuatu, biasanya sang suami akan mengungkapkan kebutuhannya dengan sindiran halus.

Suatu kali, misalnya, Imam Khomeini membutuhkan gamis baru karena yang lama sudah tak layak dipakai lagi. Maka katanya, “Adakah gamis berlebih di rumah ini yang bisa saya pakai?” Demikian pula kepada anak-anaknya. Ketegasannya dalam mendidik mereka tak pernah mengurangi kelemah-lembutannya kepada mereka. Ketegasan yang dikombinasikan dengan kelemah-lembutan memang selalu merupakan kesan yang ditangkap oleh siapa saja yang pernah bertemu dengan tokoh ini. Zahra Mustafavi, anak perempuannya yang kini profesor filsafat Islam di Universitas Teheran, mengingat bahwa ayahnya amat mempercayai anak-anaknya. Bahkan, sejak sebagai seorang anak perempuan remaja, ayahnya tak pernah banyak bertanya jika ia meminta izin keluar.

Melihat terkumpulnya berbagai sifat keutamaan dalam diri Imam Khomeini —kapan akan berlalu khususnya, kepribadian ke-‘irfan-an kebijaksanaan, ketegasan, keprihatinan, dan terhadap nasib kaum papa dan tertindas—ini, salah seorang muridnya, Ayatullah Murtadha Muthahhari, menyatakan bahwa pribadi gurunya ini mengingatkan orang kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, khalifah keempat dan imam Pertama dalam tradisi Syi’ah Imamiyah.

Sumber: Buku Wasiat Sufi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *