Kandungan Pidato Sayyidah Fathimah a.s
Syiahindonesia.id – DALAM KITAB hadis, pidato Sayyidah Fatimah a.s. sudah sangat terkenal. Pidato yang panjang dan mendalam terkait dengan masalah umat. Apa yang diharapkan oleh Sayyidah Fatimah a.s. dari kelompok para sahabat dalam orasinya yang bersejarah di Masjid Madinah dan apa penyebab kesediaan-kesediaan beliau?
Pidato yang sangat penting dan sensitif Sayyidah Fatimah a.s. di Masjid Nabi saw dengan diantara para sahabat adalah kejadian yang sangat menarik yang menjelaskan kedalaman pribadi beliau.
Pidato yang brilian dan penuh gejolak dari seorang perempuan yang kehilangan dan kelelahan, itupun dalam kondisi zaman dengan segala persoalan-persoalan dan batasan-batasan menjelaskan rasa tanggung jawab sosial, kemampuan analisa yang teliti dan seksama, dan kemampuan jiwa dan pemikiran beliau yang lebih dari pensifatan. Dalam orasi ini, beliau menjelaskan keadaan-keadaan terdahulu yang gemilang dimana ummat membantu Nabi Saw. dan mengemukakan kondisi yang ada pada mereka yang bertentangan dengan harapan.
Sayyidah Fatimah Zahra a.s. dari masa kanak-kanak menyaksikan kesusahan-kesusahan ayahnya. Mengalami kampung Syi’ib Abu Thalib. Beliau melihat siksaan-siksaan yang dialami kaum muslimin. Beliau dengan segenap keberadaan merasakan kelaparan-kelaparan, tekanan-tekanan yang ditanggung oleh muslimin dalam jalan mengembangkan agama. Beliau menyaksikan perlawanan-perlawanan, jihad, hijrah, dan kesyahidan. Beliau menyebutkan semua kondisi-kondisi dari saat kaum muslimin tidak bisa dengan mudah melaksanakan ritual-ritual keagamaan mereka, hingga disaat kaum muslimin menemukan keagungan dan perkembangan dan perluasan Islam yang cepat.
Sayyidah Fatimah Zahra a.s. optimis terhadap masa depan Islam. Harapan ini tidak jauh dari akal dimana cahaya Islam menyinari seluruh dunia dengan cepat. Semua kemenangan-kemenangan ini karena usaha dan kepemimpinan Nabi Saw. dari satu sisi, dan pengorbanan serta persatuan muslimin dari sisi lain. Namun pada saat itu berlawanan dengan semua harapan. Beliau melihat proses pergerakan Islam mengalami problem yang serius. Tidak melanjutkan kepemimpinan Ketuhanan dan tidak adanya persatuan kalimat ummat. Oleh karena itu, beliau sangat sedih. Semua wasiat-wasiat ayahnya yang bersabda, “Berpegang teguhlah kalian dengan “Tali Allah” bagaimana? Beliau mengetahui ilmu, takwa dan kepemimpinan Ali a.s. dan melihat orang-orang mengabaikan semua wasiat-wasiat dan ucapan-ucapan Nabi saw berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib a.s. semua kegundahan Fatimah Zahra menyaksikan kejauhan dan keretakan yang dalam antara sesuatu yang harus terjadi dengan hal yang sedang terjadi.
Hal yang diutarakan berkenaan dengan sosok para Imam maksum a.s. dan Sayyidah Fatimah Zahra a.s. sebagai ciri yang paling pokok adalah bahwa pemikiran, akhlak dan perilaku mereka harus menjadi teladan bagi masyarakat. Karena dengan mudah bisa dikatakan bahwa Islam dengan segala pengertiannya terjewantahkan dalam keberadaan mereka. Kecintaan kita kepada para Imam Maksum a.s. adalah kecintaan kepada teladan-teladan seratus persen sama dengan hukum-hukum, aqidah dan nilai-nilai Islam.
Tugas kita terhadap para wali agama adalah kita mencintai mereka sebagai teladan-teladan sempurna Ketuhanan, memahami pemikiran-pemikiran mereka, melaksanakan perintah-perintah mereka, dan menempatkan semua dimensi kehidupan kita sesuai dengan standar-standar yang dipandang oleh mereka. Masalah keteladanan Nabi Saw. Yang disebutkann dalam Al-Quran,
“Dan ada teladan yang baik dalam diri Rasulullah bagi kalian” adalah suatu prinsip yang menjelaskan bahwa kita harus melihat para Imam Maksum a.s. dari sisi ini melebihi segala sesuatu.
Nabi Saw, para Imam Yang Suci a.s. dan Fatimah a.s. masing-masing mengalami berbagai musibah dan bencana-bencana duniawi. Ini merupakan realitas bahwa mereka karena penegasan dan keyakinan terhadap kebenaran dan ketidakkompromian mereka yang luar biasa menghadapi kebatilan. Maka mereka dimusuhi, ditindas dan menjadi pembalasan dendam para musuh. Kita berempati dengan mereka dan menangis dalam musibah mereka.Ini adalah keharusan satu barisan bersama mereka.
Namun hal yang lebih penting dan harus kita katakan bahwa inti duka cita dan menangis harus seperti ini adalah kita harus belajar dari mereka, dari orasi-orasi mereka, dari perbuatan-perbuatan mereka dan dari semua kehidupan mereka. Tempat-tempat duka cita kita juga harus didirikan dengan tujuan ini. Namun dengan amat disesalkan kita melihat kondisi ini telah berubah. Yaitu kita yang mestinya menerima para Auliya’ kita sebagai panutan dan belajar dalam kehidupan dari mereka, kita justru meninggalkannya dan kita hanya mengambil tangisan dan musibah mereka. Misalnya Imam Al-Husain a.s. tidak pergi ke Karbala supaya terbunuh sehingga kita menagisinya dan kita pergi ke surga. Beliau pergi ke Karbala mempunyai tujuan dimana tugas pokok kita dalam hubungannya dengan beliau adalah melanjutkan tujuan-tujunannya. Ini adalah sebaik-baik tugas dan pekerjaan yang juga menyenangkan Imam Husain a.s. dan juga mempunyai pahala yang paling banyak. Sungguh pengertian hakiki Imamah dan wilayah juga seperti ini.
Berkenaan dengan seluruh Imam maksum a.s. persoalannya juga sama kita harus mengetahui mengapa Sayyidah Fatimah a.s. mepunyai tindakan-tindakan dan sikap seperti ini. Mengapa belia berpidato , mengapa beliau sangat bersikeras dalam persoalan tanah fadak. Kita harus mengetahui apa tugas kita sebagai Syiah, pengikut dan pencinta Fatimah Zahra a.s. Kita meninggalkan semua ini dan hanya menangisinya.
Yang pasti, ada dalam riwayat-riwayat bahwa menagisi Al-Husain a.s. mempunyai pahala yang banyak. Ini juga benar. Namun suatu waktu kita menangis untuk Al-Husain a.s. karena beliau dikepung oleh musuh-musuh di Karbala, dirinya dan putra-putranya kehausan dan mereka merengguh kesyahidan. Tangisan ini tidak mempunyai nilai yang hakiki. Namun apabila kita menangis untuk Imam Husain a.s. karena laki-laki agung ini bangkit untuk mempertahankan Islam dan tanpa keraguan dan kegoyahan beliau melawan terhadap kebatilan dengan segenap keberaniannya untuk Allah, beliau berkorban dengan segala kesulitan dalam jalan ini. Dan pada akhirnya beliau merengguh kesyahidan secara terzalimi karena orang-orang yang cepat percaya, tidak berfikir, menyimpang pikirannya, sembrono, toleran, mencari kesehatan, mencari kedudukan, yang menganggap dirinya Ummat Nabi Saw. dan pengikut agamanya. Maka tangisan ini mempunyai nilai. Tangisan ini yaitu searah dan bersama dengan Al-Husain a.s. yaitu sebagai Syiah.
Apabila kita menangis untuk Fatimah Fatimah Zahra a.s. karena beliau seorang putri 18 Tahun tidak melihat kebaikan didunia, beliau dizalimi, tanah fadaknya dirampas. Hal-hal seperti ini tidak bernilai. Menangis untuk Sayyidah Fatimah Zahra a.s. mempunyai nilai bila kita mengetahui Sayyidah Fatimah Zahra a.s. bersikeras untuk tujuan ini yang begitu lurus dan menanggung semua musibah. Untuk seorang syahid, ada dua bentuk yang bisa ditangisi: terkadang untuk kegagalan dan tidak menikah serta tidak melihat kebaikan didunia. Hal ini tidak mempunyai nilai.Namun ketika keagungan, keelokan dan kebesaran pekerjaannya membuat bergetar hati manusia dan membuatnya menangis, yaitu menagis karena mengapa kebatilan harus mempunyai kekuatan di dunia yang berbenturan dengan kebenaran. Tangisan ini memiliki daya cipta dan motif. Dan memperkuat keinginan dan kecenderungan pergerakan dalam diri manusia untuk Tuhan. Maka mempunyai nilai. Sungguh ini adalah musibah bila kita kehilangan sisi ini dan kita mengambil jalan-jalan yang lain. Kita semua mempunyai tugas untuk mengatasi kejadian ini. Selama kita tidak menyelesaikan persoalan ini maka banyak persoalan-persoalan kita yang masih ada.
Seseorang yang menyebarkan persoalan-persoalan ini melebihi semuanya adalah para pembaca Syi’ir tentang tragedi karbala. Mereka harus diarahkan supaya bisa melakukan tugasnya dengan benar, mengenal Imam Husain as, Sayyidah Fatimah Zahra as, Zaenab dan mengenalkan dengan benar. Mereka harus diarahkan supaya menjelaskan tujuan-tujuan dalam Syi’ir-syi’irnya. Apabila mereka memperhatikan sisi-sisi ini dan dalam acara duka cita mereka menggambarkan pribadi Auliya’ Allah dengan baik dan realitas dan kebanyakan perhatiannya kepada pembelajaran dari mereka, maka persoalan ini akan terselesaikan dan juga harus terselesaikan karena kondisi sekarang sungguh tidak benar.
Masyarakat juga harus diarahkan supaya pembacaan Syi’ir tentang tragedi Karbala dan kehadiran mereka di Majelis-majelis Imam Husain a.s. bisa bermanfaat bila tujuan-tujuan dan doktrin-doktrin beliau a.s. dijelaskan melalui jalan ini.
Menangis mempunyai pengaruh bila untuk jalan tujuan Imam Husain a.s. masyarakat haru berhati-hati supaya tidak menerima semua apa yang disampaikan dalam majelis-majelis ini. Sebagian pembaca Syi’ir tentang tragedi Karbala mengutarakan perkataan-perkataan yang lemah dan bohong supaya masyarakat menangis. Terkadang mereka melontarkan perkataan-perkataan yang menjadikan kedudukan dan kepribadian para Imam yang Mulia hingga lebih rendah dari Individu-individu biasa.
Bagaimanapun juga hukum pertunjukan dan permintaan yang menguasai disini. Karena masyarakat awam menginginkan tangisan. Pembaca syi’ir tentang tragedi Karbala dan mimbar juga lebih banyak dalam garis ini, yang menuntut masyarakat menangis walaupun menisbatkan hal-hal yang tidak benar kepada Para mam a.s. Tidak boleh dilupakan bahwa berbohong adalah dosa dan haram dan berbohong tentang para Imam a.s. dosanya lebih besar, sebagian orang yang tidak memiliki keyakinan yang lazim dalam bidang ini menjadi pembaca syi’ir oleh karena itu, secara penuh mereka mengutarakan pandangan-pandangan yang salah tentang kedudukan para Imam a.s. dan tugas masyarakat terhadap mereka serta topik-topik seperti syafaat dan lain-lain. Dan mereka menyebarkan hal-hal yang tidak karuan dalam majelis duka cita yang tidak kosong dari persoalan.
Tanggung jawab pokok pengarahan acara-acara ini berada dipundak ulama agama. Ulama agama harus menganalisa hakekat-hakekat dengan benar dan mengatakan kepada masuarakat. Mereka tidak boleh bertaqiyyah. Seperti halnya Syahid Muthahhri 30 tahun lalu dalam pidato-pidatonya yang disusun dalam kitab “Hamâsih Husaînî (keberanian Al-Husain) menuturkan persoalan-persoalan yang sangat bagus. Pada zaman itu yang sangat berbeda dengan sekarang, beliau mempunyai keberanian untuk mengatakan perkataan yang benar. [sumber:studysyiah.com]