Imam Musa Kazhim as, Simbol Kesabaran Ahlul Bait as
Syiahindonesia.id – Pada tahun 128 Hijriah Qamariah, Imam Musa Kazhim as lahir di kota Madinah, kota Abwa. Saat lahir, ayahnya, Imam Jafar Shadiq as berkata, “Allah Swt telah mempersembahkan manusia terbaik kepadaku.”
Setelah kesyahidan Imam Jafar Shadiq as, Imam Musa Kazhim as menjadi pemimpin ummat dan mengemban imamah atau kepemimpinan selama 35 tahun, Pada masa imamahnya, Imam Musa Kazhim as menghadapi berbagai problema serius, karena Bani Abbas saat itu mencapai puncak kekuasaannya.
Para penguasa saat itu seperti Harun Al-Rashid, gencar melakukan propaganda dan menerapkan arogansi yang memperkeruh kondisi buruk di tengah masyarakat. Bani Abbas dengan slogan-slogan yang berpoleskan agama, dapat menipu masyarakat dan memegang kekuasaan. Mereka sama sekali tak berkomitmen dengan slogan-slogan agama, bahkan melakukan kezaliman dan penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.
Bani Abbas mengesankan cinta kepada Ahlul Bait, namun pada dasaranya, mereka tidak suka bahkan menentang dan menyudutkan keluarga suci Rasulullah Saaw. Sejarah membuktikan bahwa perilaku mereka jauh dari harapan masyarakat ideal Islam. Jutaan dirham dan dinar digunakan untuk hal-hal yang tidak penting seperti pembangunan istana-istana mewah. Sementara itu, banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan di tengah masyarakat sangat menonjol di masa kekuasaan Bani Abbas.
Kasih sayang Imam Musa Kazhim as meliputi masyarakat tertindas di masa kekuasaan Bani Abbas. Masyarakat saat itu juga mencintai Imam Musa Kazhim as yang juga cucu Rasulullah Saww. Perilaku mulia Imam Musa as mengingatkan mereka akan akhlak mulia Rasulullah Saww yang tercatat dalam berbagai riwayat.
Imam Musa Kazhim as yang mendapat tempat di hati masyarakat, tentunya mengkhawatirkan para penguasa saat itu. Imam Musa yang juga menyuarakan keadilan membuat Bani Abbas geram. Bani Abbas pun berupaya menjauhkan Imam Musa dari masyarakat. Imam Musa pun dipenjarakan. Dalam sejarah disebutkan, Imam Musa mendekam di penjara selama 14 tahun. Karena kesabaran dalam menahan emosi, Imam Musa as mendapat gelar Kazhim artinya pengendali kemarahan.
Sementara itu, Harun Al-Rasyid, penguasa Bani Abbas saat itu, merasa hebat dan angkuh. Penguasa lalim ini dengan kesombongannya berkata, “Wahai awan, hujanlah! Di mana hujan turun, baik di barat maupun di timur, di sanalah wilayah kekuasaanku.”
Pada suatu hari, Imam Musa as dipaksa datang ke istana Harun Al-Rasyid. Harun bertanya kepada Imam Musa, “Apakah dunia itu? Dengan memperhatikan ketamakan dan kefasikan Harun Al-Rasyid, Imam Musa as berkata, “Dunia adalah tempat tinggal orang-orang fasik.” Kemudian Imam membacakan Surat Al-Aaraf, ayat 146, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar-benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”
Mendengar jawaban Imam Musa, Harun Al-Rasyid diam seribu bahasa. Harun kembali bertanya; “Bagaimana pendapat anda tentang kami? Imam berlandaskan pada ayat Al-Quran menjawab, “Allah Swat berfirman; Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. ” (Surat Ibrahim, ayat 28)
Pada suatu saat, masyarakat melihat Imam Musa bekerja di ladang dan tampak keringat mengalir di di tubuhnya. Seorang sahabat bertanya, “Mengapa kamu tidak melimpahkan pekerjaan ini ke orang lain? Imam menjawab, “Bekerja dan berjerih payah adalah perilaku para nabi dan manusia-manusia saleh.”
Seseorang kadang terjebak dalam tindakan radikal, yakni cenderung bersikap ekstrim sepihak dalam mereaksi dunia atau akherat. Saat disibukkan dengan akherat, dunia dilupakan, dan terkadang sebaliknya. Untuk itu, seseorang harus bisa memenej diri dengan baik, baik untuk akherat maupun dunia. Dengan demikian, ia dapat mengoptimalkan kenikmatan dunia dan akherat dengan baik. Inilah yang diinginkan oleh para nabi dan manusia-manusia suci. Terkait hal ini, Imam Musa berkata, “Siapapun yang meninggalkan dunia untuk agama dan menelantarkan agama untuk dunia, bukan dari golongan kami.”
Menurut Imam Musa, dunia dan agama adalah dua item yang saling terkait. Agama itu mempersembahkan peta jalan untuk kepentingan dunia dan akherat. Dunia adalah tempat implementasi hukum dan ajaran agama. Kehidupan dunia juga dapat disebut sebagai tangga untuk menghantarkan manusia ke tujuan-tujuan mulianya. Manusia harus mampu berjalan di tengah dua kebutuhan dunia dan akherat dengan mengotimalkan kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, Imam meminta ummatnya supaya dapat imbang dalam urusan dunia dan akherat.
Dalam nasehat lainnya, Imam Musa berkata, “Temukanlah kesadaran dan makrefat dalam agama Allah Swt. Sebab, pemahaaman akan hukum dan ajaran Islam merupakan kunci hati nurani yang dapat menghantarkan manusia ke derajat-derajat tinggi dunia dan agama.”
Agama menjamin kebahagiaan manusia. Akan tetapi syaratnya adalah pemahaman yang benar. Pesan itu dapat dipahami dalam perkataan Imam tadi. Imam Musa melalui pencerahannya, berupaya menghidupkan hati nurani di tengah masyarakat.
Di tengah penyimpangan pemikiran, Imam Musa berupaya meluruskan pemikiran-pemikiran menyimpang yang berkembang dan mengenalkan Islam sebenarnya kepada masyarakat.
Imam Ali Ar-Ridho as ketika berbicara mengenai ayahnya, Imam Musa Kazhim as, berkata, “Meski ayahku dikenal dalam manajemen, tapi beliau tetap bermusyawarah dengan para pembantunya.” Beliau menambahkan, “Pada suatu hari, seseorang mendatangi ayahku, dan berkata; Apakah kamu bermusyawarah dengan para pembantu?” Beliau menjawab, “Bisa jadi Allah menyelesaikan problema melalui liadha para pembantu.”
Perilaku Imam itu menunjukkan rendah hati Imam Musa terhadap semua golongan masyaarakat. Imam Musa juga dikenal dermawan bagi kaum miskin dan tertindas. Imam berkata, “Cinta membuah hidup menjadi tenteram, memperkokoh hubungan dan menyegarkan hati.”
Imam Musa Kazim juga mempunyai kepribadian luar biasa yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Namun kepribadian agung inilah penyebab kegundahan para musuh. Imam Musa berkata, ” Allah memberikan tiga kekhususan bagi kaum mukmin. Ketiga kekhususan itu adalah kemuliaan di dunia, keimanan pada akherat dan kewibawaan di hadapan para penindas.” [Sumber:Alhassanain]