Imam Ali Khamenei dan Secarik Kertas di Tangannya
Imam Ali Khamenei dan Secarik Kertas di Tangannya
Husein Alkaff
Perang Melawan Hawa Nafsu
Setiap manusia pasti berpikir dan mempunyai keinginan. Apa yang dipikirkan dan diinginkan manusia adalah sesuatu yang menguasai dirinya. Secara umum ada dua hal yang menguasai pikiran dan keinginan manusia; dunia dan akhirat. Dunia yang menjadi fokus perhatian manusia bermacam-macam; harta, wanita, tahta dan (terakhir) sosialita ( atau empat “ ta “), dan manusia yang selalu memikirkan dan menginginkan akhirat harus meninggalkan cinta dunia dengan empat dimensinya itu.
Tulisan ini tidak dalam rangka menjelaskan akhlak, tetapi sekedar ingin menceritakan manusia-manusia yang mementingkan akhirat dari pada dunia. Kata mereka, melepaskan diri dari ikatan dunia adalah sesuatu yang berat dan sulit sekali, dan hanya sedikit manusia yang berhasil dari ikatan dunia. Hal itu berat dan sulit karena manusia mempunyai hawa nafsu, dan hawa nafsu ada bersama manusia sepanjang hayat. Karena itu, Nabi Muhammad saw. menyebutkan bahwa perang melawan hawa nafsu sebagai jihad akbar. Perang melawan hawa nafsu tidak mengenal waktu dan juga tidak ada batas waktunya; kapanpun dan di manapun. Batas Akhir perang melawanya adalah saat Malaikat Izrail meniup peluit panjang sebagai tanda bahwa pertandingan antara manusia dengan hawa nafsunya sudah berakhir.
Para pecinta Allah swt. dan pedamba akhirat tidak pernah mau menyerah dan mengalah. Cinta kepada Allah swt. yang membara dalam jiwa mereka memberi semangat untuk terus berperang meskipun berdarah-darah, dan telah membuka mata hati mereka sehingga mereka melihat kebusukan dan kepalsuan dunia. Makin tinggi kedudukan ruhani (spiritual) mereka maka makin berat berat godaan hawa nafsunya. Yang berhasil dalam perang ini adalah manusia yang kuat dan tangguh.
Dalam buku akhlak terkadang diceritakan sebuah episode pertandingan seorang pecinta Allah swt. melawan hawa nafsunya. Syekh Anshari, misalnya, penulis Kitab al Makaasib dan guru besar sejumlah marja’ taqlid di dunia Syiah. Diceritakan bahwa dalam sebuah majlis ilmu yang dihadiri oleh para pelajar dalam jumlah yang banyak, beliau pernah ditanya tentang sebuah permasalahan yang tidak beliau ketahui. Beliau yang biasa mengajar dan menjawab pertanyaan dengan suara pelan, saat ditanya dengan permasalahan itu, beliau berkata, “ Saya tidak tahu “ dengan berulang-ulang dan dengan suara yang agak tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa beliau tidak malu untuk dikatakan bahwa dia tidak tahu, dan mengatakaannya berulang-ulang dengan suara yang agak tinggi untuk memerangi gengsi dan egonya.
Contoh lain, ada seorang arif yang secara rutin menjadi imam jamaah di sebuah masjid. Dari waktu ke waktu jumlah jamaahnya terus bertambah hingga banyak. Suatu waktu, ketika solat akan segera dimulai dan jumlah jamaah banyak terlintas dalam hatinya rasa bangga dan senang, maka saat itu dia keluar dari masjid dan meninggalkan jamaah. Dia merasa sudah tidak ikhlas lagi menjadi imam jamaah, dan dengan tindakan itu dia ingin memerangi rasa bangga diri (‘ujub).
Kedudukan Imam Ali Khamenei.
Ayatullah al ‘Uzhma Sayyid Ali al Husaini Khamenei setidaknya dan secara lahiriah menduduki tiga kedudukan yang tinggi; ilmiah (intelektual), fungsional keagamaan dan sosial politik. Pertama, beliau seorang mujtahid mutlak. Dalam tradisi keilmuan Syiah, menjadi mujtahid bukan sesuatu yang mudah. Untuk mencapai kedudukan itu diperlukan kesungguhan dan kecerdasan di atas rata-rata para pelajar agama sehingga tidak semua yang belajar di hawzah mencapai derajat mujtahid.
Kedua, beliau seorang marja’ taqlid, sebuah kedudukan keagamaan yang berfungsi mengeluarkan fatwa dalam urusan agama. Selain syarat mujtahid, untuk menjadi marja’ taqlid harus memiliki integritas diri yang tinggi seperti wara’, zuhud dan patuh pada agama sehingga umat memercayakan urusan agama mereka kepada marja’.
Ketiga, beliau adalah wali faqih. Kedudukan ini bisa dikatakan sebagai kedudukan tertinggi setelah imamah dalam dunia Syiah. Kedudukan ini hanya dicapai oleh seorang mujtahid yang mempunyai wawasan yang luas seputar masalah-masalah sosial dan politik dunia.
Dengan tiga kedudukan yang tinggi ini dipastikan ujian dan godaan yang dihadapi Imam Ali Khamenei sangat berat dan besar. Ujian dan godaan tidak hanya datang dari luar saja. Ujian dan godaan dari luar untuk manusia sekelas Imam Ali Khamenei tidak begitu berat dan tidak membuatnya gentar dan takut. Justru ujian dan godaan yang berat adalah jebakan dan rongrongan hawa nafsu, karena ia adalah jihad akbar. Kalah dalam perang melawan musuh luar tidak perlu dirisaukan oleh beliau, karena manusia-manusia suci pun secara lahiriah kalah. Yang ditakutkan oleh beliau adalah kalah dalam perang melawan hawa nafsu, karena kekalahan ini bisa mengakibatkan sengsara di akhirat. Itu lah perbedaan antara para pecinta Allah dan pedamba akhirat dengan para pecinta dan pedamba dunia. Kelompok pertama mengejar kemenangan atas hawa nafsu, sedangkan kelompok kedua memburu kemenangan duniawi.
Boleh jadi, wallahu a’lam, secarik kertas yang selalu dibawa Imam Ali Khamenei saat berceramah adalah sebuah upaya beliau memerangi hawa nafsu. Sejauh yang penulis tangkap, tidak ada alasan beliau membawa secarik kertas itu selain alasan menjaga diri dari perasaan telah menguasai materi yang akan disampaikannya. Mungkin ada yang menangkap bahwa alasan membawa secarik kertas adalah agar ceramah beliau fokus dan terarah atau agar tidak lari kemana-mana. Menurut saya, alasan itu kurang tepat, karena banyak ulama yang secara intelektual di bawah beliau, atau bahkan beberapa penceramah yang lain, mampu berceramah, tanpa membawa secarik kertas dan dalam waktu yang panjang, dengan fokus dan terarah. Saya kira kemampuan beliau berceramah dengan fokus dan terarah tanpa membawa secarik kertas tidak diragukan lagi. Meski demikian, beliau membawa secarik kertas untuk menghilangkan kesan bahwa beliau seorang yang menguasai materi dengan baik, dan itu bagian dari memerangi hawa nafsu. Semoga beliau berhasil dalam memerangi hawa nafsunya dan musuh-musuh lainnya, amin ya Robbal alamin.