Imam Ali bin Abi Thalib a.s.

Imam  Ali bin Abi Thalib a.s.

Biografi singkat

Amirul Mukminin Ali a.s. adalah anak keempat Abu Thalib. Ia dilahirkan di Makkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab tepatnya di dalam Ka’bah. Kelahirannya terjadi sekitar tiga puluh tahun sebelum peristiwa tahun Gajah dan dua puluh tiga tahun sebelum periode hijrah. Ibunya adalah seorang wanita luhur yang berjiwa mulia bernama Fathimah binti Asad bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ia tinggal di rumah ayahnya hingga berusia enam tahun.

Ketika Rasulullah SAWW berusia lebih dari tiga puluh tahun, paceklik sedang menimpa kota Makkah dan barang-barang pangan serba mahal. Hal inilah yang menyebabkan Ali kecil hidup bersama Rasulullah SAWW selama tujuh tahun hingga tahun-tahun pertama Bi’tsah dan mendapatkan didikan langsung darinya.

Pada khotbah ke-192 Nahjul Balaghah ia bercerita tentang dirinya: “Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya”.

Setelah Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, Ali adalah orang pertama yang beriman kepadanya.

Abu Thalib untuk pertama kalinya melihat anak dan misanannya mengerjakan shalat bersama. “Anakku, apa yang sedang kau lakukan?”, tanyanya heran. Ia menjawab: “Wahai ayah, aku telah memeluk agama Islam dan mengerjakan shalat bersama misananku”. “Janganlah kau berpisah darinya, karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan”, sang ayah menimpali.

Ibnu Abbas berkata: “Orang pertama yang melaksanakan shalat bersama Rasulullah SAWW adalah Ali a.s.”.

Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi pada hari Senin dan Ali a.s. mengerjakan shalat pada hari Selasa.

Pada tahun ketiga Bi’tsah, setelah ayat “Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu” turun, Rasulullah SAWW mengundang seluruh keturunan Abdul Muthalib ke rumahnya. Mereka berjumlah empat puluh orang. Setelah makan siang, Rasulullah SAWW tidak mendapat kesempatan untuk berbicara. Pada hari berikutnya ia mengundang mereka lagi untuk makan siang ke rumahnya. Setelah usai makan, Rasulullah SAWW mencuri kesempatan seraya berbicara di hadapan mereka: “Siapakah di antara kalian yang siap untuk menolongku dan beriman kepadaku sehingga ia akan menjadi saudara dan penggantiku setelah aku wafat?” Ali a.s. berdiri dan berkata: “Aku siap untuk menolongmu dalam menempuh jalan ini!”. “Duduklah”, jawab Rasulullah SAWW singkat.

Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan tidak ada seorang pun yang bangun menyatakan kesiapannya kecuali Ali a.s. Ia pun menyuruhnya duduk.

Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan hanya Ali a.s. yang menyatakan kesiapannya. Akhirnya ia bersabda: “Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah saudaraku, washiku, wazirku, pewarisku dan khalifahku untuk kalian sepeninggalku”.

Setelah tiga belas tahun berdakwah di Makkah, akhirnya segala faktor pendukung dan persiapan untuk hijrah ke Madinah tersedia. Pada malam hijrah, Rasulullah SAWW berkata kepada Ali a.s.: “(Malam ini) engkau harus tidur di atas ranjangku!”. Malam itu Ali a.s. tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW. Malam itu yang bertepatan dengan tanggal 1 Rabi’ul Awal tahun keempat Bi’tsah dikenal dengan nama Lailatul Mabit. Berdasarkan beberapa riwayat, pada malam itu satu ayat turun berkenaan dengan keutamaan Imam Ali a.s.

Beberapa malam sebelum hijrah, Rasulullah SAWW pergi menuju Ka’bah bersama Ali a.s. Ia berkata kepada Ali a.s.: “Naiklah di pundakku!”. Setelah Ali a.s. naik ke atas pundaknya, mereka menghancurkan beberapa buah patung yang mengelilingi Ka’bah. Setelah itu mereka bersembunyi supaya kaum Quraisy tidak mengetahui siapa yang melakukan itu.

Setelah Rasulullah SAWW hijrah, Imam Ali a.s. baru dapat hijrah tiga hari setelah itu bersama ibunya, Fathimah binti Asad, Fathimah Az-Zahra`, Fathimah binti Zubair dan muslimin lainnya yang belum sempat berhijrah. Faktor keterlambatannya dalam melaksanakan hijrah adalah karena ia harus mengembalikan amanat-amanat Rasulullah SAWW kepada para pemiliknya.

Ketika ia sampai di Madinah, kakinya luka berdarah. Karena kerelaannya dalam berkorban, Rasulullah SAWW sangat berterima kasih kepadanya.

Di tahun pertama hijrah, ketika Rasulullah SAWW mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, ia berkata kepada Imam Ali a.s.: “Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat”. Pada tahun kedua hijrah, Imam Ali a.s. menikah dengan Fathimah Az-Zahra` a.s.

Bulan Ramadhan tahun kedua hijrah adalah bulan kemuliaan dan kebanggaan bagi Imam Ali a.s. Pada tanggal 15 Ramadhan Allah mengaruniai Imam Hasan a.s. kepadanya dan pada tanggal 17 Ramadhan terjadi perang Badar yang telah membuktikannya sebagai pahlawan pemberani, dan hal itu menjadi buah bibir masyarakat Madinah.

Syeikh Mufid r.a. berkata: “Pada perang Badar muslimin berhasil membunuh tujuh puluh orang kafir dan Imam Ali a.s. membunuh tiga puluh enam orang dari mereka. Itu pun ia masih membantu yang lain dalam membunuh orang-orang kafir”.

Pada bulan Syawal tahun ketiga hijrah pecah perang Uhud. Nama Imam Ali a.s. –-sebagaimana di perang Badar– menjadi buah bibir masyarakat. Di perang Uhud inilah Rasulullah SAWW bersabda: “Ali adalah dariku dan aku darinya”. Dan pada perang ini juga suara teriakan di langit menggema: “Tiada pedang kecuali Dzulfiqar dan tiada pemuda kecuali Ali”.

Pada tahun ketiga atau keempat hijrah, Allah menganugerahkan seorang putra kepada Imam Ali a.s. yang akhirnya dinamai Husein. Sembilan imam ma’shum a.s. berasal dari keturunannya.

Pada bulan Syawal tahun kelima hijrah perang Khandaq pecah. Di perang ini Imam Ali a.s. berhadapan langsung dengan ‘Amr bin Abdi Wud. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah SAWW bersabda: “Manifestasi seluruh iman berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”. Pada kesempatan yang lain ia bersabda: “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Pada tahun ketujuh hijrah, perang Khaibar kembali pecah. Pada suatu hari ketika muslimin sudah putus asa karena tidak dapat menjebol benteng Khaibar yang dijadikan pertahanan oleh orang-orang Yahudi, Rasulullah SAWW bersabda: “Besok aku akan memberikan bendera komando pasukan ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia juga dicintai oleh mereka. Ia akan menyerang pantang mundur, dan tidak akan pulang kecuali Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya”.

Pada tanggal 20 Ramadhan tahun ke-8 hijrah, Rasulullah SAWW berhasil membebaskan kota Makkah yang sebelumnya merupakan pusat dan benteng kokoh bagi penyembahan berhala. Berdasarkan sebagian riwayat, Imam Ali a.s. pada hari itu memperoleh kemuliaan untuk naik di atas pundak Rasulullah SAWW untuk menghancurkan berhala-berhala yang menghuni Ka’bah.

Setelah peristiwa pembebasan kota Makkah, perang Hunain dan kemudian perang Tha`if pecah. Pada peristiwa perang Hunain, hanya sembilan orang sahabat yang di antara mereka adalah Imam Ali a.s. yang setia bersama Rasulullah SAWW. Para sahabat yang lain lari tunggang-langgang.

Pada tahun ke-9 hijrah, perang Tabuk pecah. Dari dua puluh tujuh peperangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAWW, hanya dalam perang ini Imam Ali a.s. tidak ikut serta. Hal itu dikarenakan Rasulullah SAWW menyuruhnya untuk menjadi penggantinya di Madinah. Hadis manzilah berhubungan dengan peristiwa ini. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAWW bersabda: “Apakah engkau (Ali) tidak rela jika kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku”. Di tahun ini juga Imam Ali a.s. mendapat perintah untuk mengambil ayat-ayat surah al-baraa`ah yang dipegang oleh Khalifah Abu Bakar untuk dibacakannya di hadapan para penyembah berhala.

Pada tanggal 5 Dzul Qa’dah 10 H., Rasulullah SAWW mengutus Imam Ali a.s. ke Yaman untuk bertabligh, dan dengan ini banyak masyarakat Yaman yang memeluk agama Islam.

Pada tahun itu juga peristiwa Ghadir Khum terjadi. Seraya mengenalkan Imam Ali a.s. sebagai penggantinya Rasulullah SAWW bersabda: “Barang siapa yang aku maula (pemimpin)-nya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Hadis ini diriwayatkan oleh seratus sepuluh sahabat, delapan puluh empat tabi’in dan tiga ratus enam puluh ulama Ahlussunnah dari sejak abad ke-2 hingga abad ke-13 H.

Pada tahun ke-11 hijrah, Rasulullah SAWW meninggal dunia. Imam Ali a.s. berkata: “Engkau (Muhammad) meninggal dunia dalam pelukanku”. Padahal washi Rasulullah SAWW sedang sibuk memandikan, mengafani dan menguburkannya, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah dengan tujuan mengadakan sebuah kudeta. Sebuah kudeta yang eksesnya memenuhi sejarah dengan lembaran hitam, menjadikan masa depan umat manusia gelap-gulita dan lebih dari itu, sunnah yang batil terwujud. Dinasti Umaiyah dan Abasiyah telah menduduki tahta kerajaan Islam dan menjadikan kekhilafahan sebagai sebuah permainan.

Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi di Saqifah itu adalah dasar utama munculnya pengkhianatan besar terhadap muslimin. Karena dengan lebih mendahulukan orang yang biasa atas orang yang lebih dari segala segi, para sahabat yang berkumpul di Saqifah tersebut telah memenangkan permainan itu dengan segala tipu muslihat dan berhasil menon-aktifkan Imam Ali a.s. dari memegang khilafah padahal ia memiliki masa lalu yang cemerlang dalam membela Islam, ilmu dan takwa. Dan selama dua puluh lima tahun tidak hanya hak Imam Ali a.s. yang diinjak-injak melalui iming-iming kekayaan dan pemaksaan, hak umat Islam untuk mendapatkan seorang pemimpin yang adil dan alim juga tidak dihiraukan.

Akhirnya, sistem khilafah semacam inilah yang memperlicin jalan bagi berkuasanya Bani Umaiyah dan Bani Abbas, dan kebiasaan lebih mendahulukan orang biasa dari orang yang lebih dari segala segi itulah yang memberikan kesempatan bagi orang yang suka mencari kesempatan untuk mengorbankan hakikat demi maslahat individu.

Sepanjang lima tahun pemerintahan Imam Ali a.s., banyak faktor yang selalu menjegalnya dalam usaha mewujudkan sebuah perbaikan universal dan keadilan sosial. Pada masa lima tahun itu mayoritas waktu dan tenaganya digunakan untuk membasmi segala bentuk kudeta dan berperang melawan naakitsiin (para pembelot dari bai’at seperti Thalhah dan Zubair), qaasithiin (para lalim seperti Mu’awiyah dan para pengikutnya) dan maariqiin (orang-orang yang enggan menaati segala instruksi Imam Ali a.s. seperti kelompok Khawarij Nahrawan).

Selama enam puluh tiga tahun hidup di tengah-tengah masyarakat, Imam Ali a.s. hidup dengan penuh kesucian jiwa, takwa, kejujuran, iman dan ikhlas dengan berpegang teguh pada semboyan “cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”. Dan ia tidak memiliki tujuan kecuali Allah dan setiap amalan yang dikerjakannya semuanya demi Allah. Jika ia sangat mencintai Rasulullah SAWW, hal itu pun ia lakukan demi Allah. Ia tenggelam dalam iman dan ikhlas untuk Allah. Ia lalui semua kehidupannya dengan kesucian dan ketakwaan, dan ia pun bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan suci. Ia lahir di rumah Allah dan meninggal di rumah Allah juga. Seluruh hidupnya telah menjadi satu dengan kebenaran. Ketika pedang Abdurrahman bin Muljam merobek kepalanya ia hanya berkata: “Aku sekarang menang, demi Tuhan yang memiliki Ka’bah”. Ia meneguk cawan syahadah pada malam 21 Ramadhan 40 H.

 

 Poin-poin Penting dari Kehidupan Imam Ali a.s

Poin pertama : Pada peristiwa badan syura yang beranggotakan enam orang dan dibentuk atas perintah Umar bin Khattab dengan tujuan untuk memilih khalifah setelah ia meninggal dunia, Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang kandidat tidak bersedia untuk dipilih dan akhirnya ia mengundurkan diri dari keanggotaan. Setelah itu, ia berpendapat agar kandidat khalifah hanya terdiri dari dua orang, yaitu Imam Ali a.s. dan Utsman bin Affan. Ia ingin membai’at Imam Ali a.s. dengan syarat ia harus menjalankan pemerintahan atas dasar kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, “sunnah” (baca : metode) Abu Bakar dan Umar. Imam Ali a.s. menjawab: “Saya akan berusaha menjalankan pemerintahan atas dasar kitab Allah, sunnah Rasul-Nya dan metode saya sendiri”.

Ketika Utsman mendapat tawaran di atas, ia langsung menerima dan dengan mudah menjadi khalifah.

Poin kedua: Setelah Utsman bin Affan terbunuh, Imam Ali a.s., berdasarkan desakan mayoritas masyarakat kala itu, dengan terpaksa menerima khilafah. Situasi politik negara saat itu sangat tidak memihak kepadanya. Banyak problema yang muncul di sana-sini. Akan tetapi, dengan segala problema yang ada, ia telah berhasil mengadakan sebuah perombakan besar-besaran dalam bidang hak-hak asasi, ekonomi dan birokrasi. Dalam bidang hak-hak asasi, ia telah menghapus sistem perbedaan dalam memberikan santunan kepada anggota masyarakat dan menyamaratakan mereka dalam hal itu. Ia berkata: “Seorang yang hina adalah mulia dalam pandanganku jika aku harus menegakkan haknya dan orang yang kuat adalah lemah dalam pandanganku jika aku harus mengambil hak orang lain darinya”.

Dalam bidang ekonomi, ia telah merampas semua tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada golongan jet-set dan dibagikan secara merata kepada seluruh masyarakat. Ia berkata: “Wahai manusia, aku adalah dari kalian. Jika aku memiliki suatu harta, kalian juga memiliki harta yang sama, jika kalian memiliki suatu tugas, maka aku juga memiliki tugas yang sama. Aku akan membawa kalian menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan setiap yang diperintahkannya, akan kutanamkan di dalam lubuk hati kalian. Setiap tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada orang lain (dengan tidak benar) harus dikembalikan ke baitul mal. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat membasmi kebenaran. Jika kutemukan harta yang telah dijadikan mahar perkawinan, budak dibeli dengannya atau harta yang (tidak diketahui asal-usulnya karena) telah tersebar di berbagai kota, akan kukembalikan ke tempat asalnya. Dalam keadilan tersembunyi sebuah ketenteraman, dan jika seseorang merasa terikat oleh kebenaran, maka kelaliman akan lebih mencekiknya”.

Dalam bidang birokrasi, Imam Ali a.s. telah melakukan dua hal penting: pertama, memberhentikan para wali kota yang telah ditentukan oleh Utsman, dan kedua, menyerahkan tampuk wali kota kepada orang-orang yang bersih dan bertakwa. Ia menunjuk Utsman bin Hanif sebagai wali kota Bashrah, Sahl bin Hanif sebagai wali kota Syam, Qais bin Ubadah sebagai wali kota Mesir, dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai wali kota Kufah. Berkenaan dengan Zubair dan Thalhah yang pernah menjabat sebagai wali kota Bashrah dan Kufah, Imam Ali a.s. menyingkirkan mereka dengan lemah-lembut. Imam Ali a.s. juga mencabut Mu’awiyah dari kursinya sebagai wali kota Syam, karena ia tidak ingin seorang yang kotor berkuasa atas masyarakat Syam. Sikap Imam Ali a.s. dalam situasi dan kondisi semacam itu adalah ia harus menyerang Mu’awiyah dan menyingkirkannya dari arena politik. Imam a.s. menganggap dirinya bertanggung jawab untuk membasmi segala unsur penentang ilegal yang diciptakan oleh Mu’awiyah dan kelompoknya.   Imam a.s. harus membersihkan semua unsur penentang, karena tugasnya adalah membersihkan masyarakat Islam dari segala penyelewengan. Dan hal ini sangatlah berat.

Dengan kata lain, faktor utama yang menyebabkan Imam Ali a.s. harus menyingkirkan Mu’awiyah dan berperang melawannya adalah karena aliran pemikiran yang dianutnya (yang dipoles dengan agama).

Dengan demikian, Imam Ali a.s. harus menghadapi dua realita pahit: pertama, ia harus menangani disintegrasi bangsa dan kedua, ia harus membasmi setiap penyelewengan dari dalam negara sebagai warisan yang telah ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.

Dalam hal ini, usaha dalam meluruskan situasi negara  yang sudah terlanjur krisis dan merampas kembali harta-harta yang berada di tangan para pengkhianat bangsa ia lakukan tanpa mengenal toleransi sedikit pun.

Imam Ali a.s. berkata: “Mu’awiyah tidak pernah menjalankan Islam sepenuhnya, bahkan ia ingin melestarikan tradisi jahiliah ayahnya, Abu Sufyan. Ia ingin merubah eksistensi Islam dengan sebuah eksistensi yang lain dan masyarakat Islam dengan masyarakat yang lain. Ia ingin membentuk sebuah masyarakat yang tidak meyakini Islam dan Al Quran. Ia menginginkan khilafah diganti dengan sistem pemerintahan kaisar”.

.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *