Imam al Hasan al Mujtaba as.
Imam al Hasan al Mujtaba as.
Husein Alkaff
Imam Hasan a.s. adalah putra pertama pasangan Imam Ali a.s. dan Fathimah Az-Zahra` a.s. Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Ramadhan 2 atau 3 H. Setelah sang ayah syahid, ia memegang tampuk pemerintahan Islam selama enam bulan. Ia syahid pada tahun 50 H. setelah meminum racun yang disuguhkan oleh istrinya sendiri, Ja’dah di usianya yang ke-48 tahun. Ia dikuburkan di Perkuburan Baqi’ di samping tiga imam ma’shum lainnya dan menjadi tempat ziarah para pencinta Ahlul Bayt a.s.
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa` bercerita: “Imam Hasan a.s. dilahirkan pada tahun 3 H. Ia adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAWW. Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Rasulullah SAWW menyembelih kambing untuk akikahnya dan ia mencukur rambutnya. Rambut itu kemudian ditimbang dan sesuai dengan kadar timbangannya Rasulullah SAWW bersedekah perak. Ia adalah salah satu ahli kisa`. Rasulullah SAWW bersabda: “Ya Allah, aku sangat mencintainya, oleh karena itu, cintailah dia”. Pada kesempatan yang lain ia bersabda: “Hasan dan Husein adalah dua penghulu penghuni surga”.
Ibnu Abbas berkata: “Suatu hari Hasan naik di atas pundak Rasulullah SAWW. Salah seorang sahabat berkata: “Wahai anak muda, engkau memiliki tunggangan yang sangat bagus!”. “Tidak begitu, ia adalah penunggang yang terbaik”, jawab Rasulullah SAWW menimpali. Ia memiliki jiwa yang tenang, berwibawa, tegar, pemaaf dan sangat disukai masyarakat. Ia sangat peduli terhadap orang-orang miskin. Ia sering membantu mereka melebihi kebutuhan mereka sehingga kehidupan mereka sedikit lebih makmur. Hal ini karena ia tidak ingin seorang peminta datang beberapa kali kepadanya untuk meminta sesuatu yang akhirnya ia merasa malu. Di sepanjang umurnya, ia telah menginfakkan seluruh kekayaannya sebanyak dua kali dan mewakafkan hartanya sebanyak tiga kali.
Ia adalah seorang pejuang pemberani. Selama menjadi anggota pasukan ayahnya, dalam setiap peperangan ia menjadi anggota pasukan terdepan. Pada peristiwa perang Jamal dan Shiffin, ia termasuk salah seorang pejuang berani mati.
Kondisi Negara pada Masa Keimamahannya
Imam Hasan a.s. ketika memegang tampuk kekuasaan, negara sedang mengalami kondisi kritis, serba tidak menentu dan didominasi oleh usaha-usaha merebut kekuasaan yang muncul setelah Imam Ali a.s. syahid. Kondisi serba ruwet yang dihadapinya memaksanya untuk memilih salah satu dari dua jalan yang harus ditempuh: pertama, berperang melawan musuh yang hasilnya adalah ia dan semua pengikutnya akan terbunuh dan kedua, mengadakan perdamaian dengan mereka sebagai salah satu pilihan yang lebih menguntungkan masyarakat Islam. Hal yang lumrah ketika masyarakat melihat bahwa berperang tidak akan memberikan hasil apa-apa, hal itu akan menjenuhkan dan tidak akan memberikan secuil pun harapan.
Terdapat banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Hasan a.s. sangat cerdik dalam membaca situasi masanya. Ia memahami bahwa berperang melawan Mu’awiyah dengan adanya keraguan yang menghantui mayoritas masyarakat kala itu tidak mungkin akan menghasilkan kemenangan.
Para pengikut Imam Hasan a.s. malah berani berkhianat. Karena tipuan gemerlapnya harta dunia dan kedudukan yang dijanjikan oleh Mu’awiyah mereka bergabung dengannya dan meninggalkan Imam Hasan a.s. sendirian.
Para pembesar Kufah telah tega menulis kepada Mu’awiyah sebuah surat yang berbunyi: “Kapan pun engkau mau, kami siap mengirimkan Imam Hasan a.s. kepadamu dengan tangan terikat”. Akan tetapi, ketika mereka berhadapan dengan Imam, mereka dengan pura-pura menampakkan ketaatan dan kecintaan kepadanya seraya berkata: “Engkau adalah pengganti dan washi ayahmu, dan kami siap melaksanakan setiap instruksimu. Jika ada perintah, silakan”.
Imam Hasan a.s. menjawab: “Demi Allah, kalian bohong. Demi Allah, kalian telah melakukan pengkhianatan kepada orang yang lebih baik dariku. Bagaimana mungkin kalian akan setia kepadaku? Bagaimana aku percaya kepada kalian? Jika kalian berkata benar, kita akan bertemu di Al-Mada`in. Pergilah ke sana”.
Imam Hasan a.s. pergi ke Al-Mada`in. Akan tetapi, mayoritas anggota pasukannya meninggalkannya pergi sendirian. Dengan kondisi semacam ini, bisakah Imam Hasan a.s. berperang melawan Mu’awiyah? Tentu tidak. Dengan demikian, karena tidak memiliki SDM yang cukup dan dapat dipercaya, Imam Hasan a.s. terpaksa harus menerima perdamaian yang dipaksakan.
Isi Surat Perdamaian antara Imam Hasan a.s. dan Mu’awiyah
Pertama, pemerintahan akan diserahkan kepada Mu’awiyah (laknat dan siksaan Allah semoga terus menimpanya, penulis) dengan syarat ia harus beramal sesuai dengan kitab Allah, sunnah Rasulullah SAWW dan para khalifah yang saleh.
Kedua, Setelah Mu’awiyah mati, urusan pemerintahan akan diserahkan kepada Imam Hasan a.s. Jika terjadi sesuatu atasnya, pemerintahan akan diserahkan kepada Imam Husein a.s. dan Mu’awiyah tidak dapat menyerahkannya kepada orang lain.
Ketiga, kebiasaan mencerca dan mencela Imam Ali a.s. ketika shalat harus dihapuskan dan ia tidak dikenang kecuali dengan nama baik.
Keempat, semua yang ada di baitul mal Kufah (sebanyak lima juta Dirham atau Dinar) harus dikecualikan dari pengawasan negara. Mu’awiyah harus mengirimkan bantuan sebanyak dua juta Dirham kepada Husein a.s. setiap tahun. Berkenaan dengan hadiah dan segala pemberian yang dilakukan oleh negara, Bani Hasyim harus mendapat perlakuan yang lebih dari Bani Abdi Syams. Anak-anak para pengikut Amirul Mukminin Ali a.s. yang telah berperang bersamanya di perang Jamal dan Shiffin harus diberi bantuan sebesar satu juta Dirham. Dan bantuan ini harus diambil dari pajak kota Darab-gard (salah satu kota di Ahwaz, Iran–pen.).
Kelima, setiap orang di mana pun ia berada, baik di Syam, Irak, Hijaz maupun Yaman, baik ia berkulit putih maupun berkulit hitam harus dijamin keamanannya. Mu’awiyah harus menahan diri dan memaafkan segala kesalahan-kesalahan mereka. Ia tidak berhak menghukum perbuatan seseorang karena kesalahan-kesalahan masa lalunya dan tidak memperlakukan penduduk Irak dengan penuh permusuhan dan rasa dengki. Ia juga harus memberikan suaka politik kepada semua pengikut Imam Ali a.s. dan tidak mengganggu ketenteraman kehidupan mereka. Para pengikut Imam Ali a.s. harus hidup dengan aman, baik jiwa, harta, istri dan anak-anaknya. Tidak seorang pun berhak mengganggu mereka. Setiap orang yang memiliki hak, ia harus dapat menikmati haknya. Hasan bin Ali, saudaranya, Husein dan Ahlul Bayt Rasulullah SAWW tidak boleh dikenang kecuali dengan nama baik, baik di depan khalayak maupun di tempat sepi. Dan hal ini harus dijaga dan diperhatikan di setiap penjuru negara.
Taktik perdamaian yang dijalankan oleh Imam Hasan a.s. telah berhasil membongkar jati diri Mu’awiyah yang sebenarnya. Akhirnya, dengan taktik tersebut Mu’awiyah –pada sebuah kesempatan setelah memegang tampuk kekuasaan– berpidato di hadapan khalayak seraya berkata: “Demi Allah, aku berperang melawan kalian bukan supaya kalian mendirikan shalat, berpuasa, melaksanakan haji dan membayar zakat. Akan tetapi, aku berperang melawan kalian supaya aku dapat berkuasa dan memerintah. Allah telah memberikan kedudukan ini kepadaku ketika kalian tidak rela akan itu. Sesungguhnya aku telah memberikan harapan kepada Hasan (seperti yang telah tertulis dalam surat perdamaian di atas–-pen). Telah kuberikan segalanya kepadanya, dan sekarang semua itu berada di bawah telapak kakiku dan aku tidak akan melaksanakan semua kesepakatan yang telah disepakati”.
Selama dua puluh tahun memerintah Mu’awiyah selalu menyusun sebuah program untuk membungkam segala kemauan dan kehendak rakyat dengan tujuan supaya mereka tidak ikut campur dalam memikirkan problema besar sosial yang sedang menimpa negara. Dengan itu ia menginginkan supaya mereka hanya memikirkan problema-problema kecil yang menimpa mereka sehari-hari, lupa dari segala tujuan yang telah dicanangkan oleh Rasulullah SAWW, hanya memikirkan kepentingan individu dan segala jenis bantuan yang akan mereka terima dari baitul mal.
Sebagian pembesar-pembesar Kufah meskipun mereka adalah para pengikut Imam Ali a.s., akan tetapi mereka juga memerankan pemain sebagai antek-antek Mu’awiyah. Mereka melaporkan segala yang mereka lihat dan terjadi di kabilah mereka, dan tidak lama setelah itu pasukan kerajaan akan menangkap orang-orang yang angkat bicara menentang Mu’awiyah. Begitulah seterusnya khilafah menjadi sebuah alat permainan di tangan-tangan Bani Umaiyah.
Mu’awiyah memahami dengan baik bahwa Imam Hasan a.s. memiliki sebuah aliran pemikiran dan tujuan, dan ia –demi memperluas jangkauan risalahnya–, tidak akan pernah putus asa dalam berusaha. Ia akan menggunakan segala tenaga dan usahanya demi mengangkat martabat risalahnya yang bertujuan ingin mengadakan sebuah revolusi dalam diri umat manusia. Dengan ini, Mu’awiyah merasakan bahaya sedang mengancamnya. Ia mengadakan rencana untuk meneror Imam a.s. Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk meracunnya. Melalui perantara istri Imam a.s. sendiri, Mu’awiyah berhasil membunuhnya dengan racun.
Abul Faraj Al-Ishfahani dalam bukunya Maqaatiluth Thaalibiyyiin menulis: “Mu’awiyah ingin mengambil bai’at untuk putranya, Yazid. Demi merealisasikan tujuannya ini ia tidak melihat penghalang yang besar melintang kecuali Imam Hasan a.s. dan Sa’d bin Abi Waqqash. Dengan demikian, ia membunuh mereka berdua secara diam-diam dengan racun”.
As-Sibth bin Jauzi meriwayatkan dari Ibnu Sa’d dalam kitab At-Thabaqaat dan ia meriwayatkan dari Al-Waqidi bahwa Imam Hasan bin Ali a.s. ketika sedang menghadapi sakaratul maut pernah berwaiat: “Kuburkanlah aku di samping kakekku Rasulullah SAWW”. Akan tetapi, Bani Umaiyah, Marwan bin Hakam dan Sa’d bin Al-‘Ash sebagai gubernur Madinah kala itu tidak mengizinkannya untuk dikuburkan sesuai dengan wasiatnya.
Ibnu Sa’d pengarang kitab At-Thabaqaat berkata: “Salah seorang sahabat yang menentang penguburan Imam Hasan a.s. di samping Rasulullah SAWW adalah A’isyah. Ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang berhak dikubur di samping Rasulullah”.
Akhirnya, jenazah Imam Hasan a.s. diboyong menuju ke pekuburan Baqi’ dan dikuburkan di samping kuburan neneknya, Fathimah binti Asad.
Dalam kitab Al-Ishaabah, Al-Waqidi bercerita: “Pada hari (penguburan Imam Hasan a.s.) orang-orang yang menghadirinya sangat banyak sekiranya jarum dilemparkan di atas mereka, niscaya jarum tersebut akan jatuh di atas kepala mereka dan tidak akan menyentuh tanah”.