Ahlu Sunnah wal Jamaah; Apa dan Siapa Mereka”

Ahlu Sunnah wal Jamaah; Apa dan Siapa Mereka”

(sebuah perspektif)

Muktamar Islam tentanga Ahlu Sunnah wal Jamaah di Grozny, ibukota Chehnya yang dihadiri oleh dua ratus ulama dari berbagai Negara Islam sudah digelar beberapa hari yang lalu. Kesepakatan yang dihasilkan darinya menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kaum Muslimin ada yang senang dan puas, dan sebagian lagi ada yang marah dan kesal. Gerangan, apa masalahnya ?

Muktamar diselenggarakan untuk merumuskan apa dan siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah itu ? Sepanjang sejaran Islam setelah masa Khulafa al Rasyidun, pengikut Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah golongan mayoritas di Dunia Islam.  Mereka tersebar di hampir semua Negara Islam, tidak terkecuali Iran. Secara umum, mereka dikenal sebagai kelompok yang beraliran moderat (wasathiyyah) dan memiliki beberapa aliran tasawwuf. Namun akhir-akhir ini, mereka agak risih dengan gerakan-gerakan radikal yang sering mencatut nama Ahlu Sunnah wal Jamaah. Saat yang sama, para muktamirin yang merasa sebagai pewaris Ahlu Sunnah wal Jamaah sering kali dianggap menyimpang dan keluar dari Ahlu Sunnah wal Jamaah oleh sebagian golongan Salafi-Wahhabi.

Dalam terminologi ilmu Kalam, Ahlu Sunnah wal Jamaah bermakna para pengikut Sunnah yang  terhimpun dalam satu Jamaah.  Terminologi ini terdiri dari dua terminologi “ Ahlu Sunnah” dan “ Ahlul Jama’ah “. Pada mulanya, dua terminologi ini muncul secara terpisah, dan masing-masing darinya mempunyai makna dan sejarah tersendiri. Kemudian dua terminologi ini disatukan secara resmi oleh Abu al Hasan al Asy’ari (260-324 H). Dalam sejarah, istilah “ Jama’ah “ kemunculannya lebih awal dari istilah “ Sunnah “, dan muncul dalam konteks yang berbeda pula.

Sejarah Kemunculah Istilah “ Jama’ah “ dan “ Sunnah

Pada tahun 41 H (661 M) al Hasan al Mujtaba putra Ali bin Abu Thalib  menyerahkan khilafah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Penyerahan ini  beliau lakukan semata-mata demi menghindari pertumpahan darah yang terjadi di tengah kaum Muslimin. Namun pada sisi yang lain, dengan penyerahan itu Muawiyah merasa dirinya menang dan berhasil menjadi penguasa kaum Muslimin tanpa tandingan.

Pada mulanya, Muawiyah hanya seorang penguasa di wilayah Syam yang luas. Dia diangkat oleh khalifah Umar bin al Khattab sebagai gubernur di sana dan lalu disahkan kembali oleh khalifah Utsman bin Affan. Ketika Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah setelah kematian Utsman, dia menolak untuk berbaiat kepada khalifah Ali dengan alasan dan tuduhan bahwa khalifah Ali terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman bin Affan. Namun, tuduhan itu tidak disertai dengan bukti. Tidak puas dengan sikap khalifah Ali bin Abu Thalib, dia mengadakan pemberontakan terhadap khalifah yang sah sehingga meletuslah perang Shiffin pada tahun 38., sebuah perang antara khalifah yang sah dengan Muawiyah yang memberontak. Dan berakhir dengan kekalahan para pemberontak (al bughât)

Setelah Ali bin Abu Thalib wafat pada tahun 40 H., al Hasan menjadi khalifah. Berbagai macam cara ( stick and carrot) dilakukan oleh Muawiyah demi merebut khilafah dari al Hasan putra Ali. Karena demi pertimbangan keutuhan kaum Muslimin dan demi menghindari pertumpahan darah di tengah mereka, al Hasan menyerahkan khilafah kepada Muawiyah dengan beberapa catatan yang kemudian diabaikan oleh Muawiyah.

Setelah itu, Muawiyah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah kaum Muslimin dan mengabadikan tahun kekuasaannya itu dengan sebutan “ Ām al Jamâ’ah “ ( Tahun Kebersamaan). Maksud dari  kata itu adalah bahwa kaum Muslimin berada dalam satu jamaah, dan dia sebagai pemimpin mereka. Sejak itu hingga khalifah-khalifah setelahnya dari klan Bani Umayyah ( Umawiyyah) dan klan Bani Abbas ( Abbasiyah) kaum Muslimin harus mengakui dan berbaiat kepada para khalifah yang berkuasa, dan mereka terhimpun dalam satu jamaah (Ahlu al Jamaah). Siapapun yang menolak mereka, maka dianggap sebagai “ râfidhah “( para penolak atau pembangkang).

Sedangkan istilah “ Ahlu Sunnah “ adalah sebuah metode praktis dalam ber-agama. Artinya, kaum Muslimin, sejak era sahabat dan beberapa era setelahnya, dalam memahami dan menjalankan ajaran-ajaran Islam mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Mereka secara konsisten mengikuti segala apa yang Nabi saw. ucapkan dan lakukan. Sementara itu, ada kelompok-kelompok yang tidak secara konsisten mengikuti Sunnah. Mereka disebut dengan ahlu bid’ah wal ahwa’ (para pengikut ajaran baru dan hawa nafsu). Siapakah  Ahlu Sunnah dan siapakah Ahlul Bid’ah ? Setiap golongan mempunyai formula dan penafsiran sendiri-sendiri.

Berdasarkan keterangan itu, Ahlu Jamaah sebuah istilah politik yang disematkan kepada golongan yang mengakui para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas, dan golongan yang tidak mengakuinya disebut Rafidhah. Sedangkan istilah Ahlu Sunnah sebuah pola beragama yang mempertahankan tradisi para sahabat. Dengan demikian, kaum Muslimin yang mengakui khalifah-khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas dan mengikuti pola beragama para sahabat disebut dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Golongan Mana yang Mewakili Ahlu Sunnah wal Jamaah ?

Oleh karena istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah muncul secara alami dan cair serta dalam waktu dan konteks yang berbeda, maka sulit untuk menentukan kriteria-kriterianya yang ajek. Setiap golongan bisa saja merumuskannya sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya. Abu al Hasan al Asy’ari pencetus aliran teologi Asy’ariyyah, misalnya, mempunyai formula sendiri dalam membangun aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah. Demikian pula, Ahmad bin Hanbal, tokoh utama aliran Ahlul Hadis atau Salafi. Kemudian disusul oleh rumusan al Ghazali, al Bâqillani, al Juwayni, Ibnu Taymiyyah dan lainnya.

Any way, apapun dan siapapun yang mengakui para khalifah Umawiyyah dan Abbasiyah maka mereka adalah Ahlu Jamaah secara politis. Kemudian apapun dan siapapun yang mengikuti pola beragama seperti para Sahabat, maka mereka adalah Ahlu Sunnah. Sementara rumusan Ahlu Sunnah wal Jamaah secara rinci maka boleh saja berbeda sesuai dengan keyakinan dan pemahaman masing-masing kelompok.

Oleh karena itu, kelompok Wahhabi berhak marah dan protes atas rumusan yang disusun oleh para peserta Muktamar di Grozny karena mereka dianggap bukan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dan saat yang sama, para peserta Muktamar berhak untuk merumuskan Ahlu Sunnah wal Jamaah sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka, dan mereka lah sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah yang benar. Masing-masing boleh saja merumuskan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan meng-klaim dirinya lah yang benar, tetapi apa dan siapa sebenarnya Ahlu Sunnah wal Jamaah ? . Wallahu a’lam. (Husein Alkaff)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *